Rabu, 30 Desember 2015

Buku yang Saya Baca di 2015

Bukan, bukan. Saya bukan bookworm alias kutu buku yang mampu melahap puluhan sampai ratusan buku dalam satu tahun. Sebenarnya saya agak malu ketika ingat dulu di awal tahun 2015 saya memasang target 20 buku pada challenge reading di akun Goodreads saya. Dan kini di penghujung tahun 2015, ternyata baru tiga perempatnya  dari target yang telah terbaca. Hehe. Jika di Instagram kini sedang tren 'pamer' sembilan foto terbaik selama setahun ini dengan tagar #2015BestNine maka dari kesemua buku yang telah terbaca di tahun ini, secara khusus di tulisan ini saya ulas sembilan buku tersebut dalam '2015 Best Nine' buku yang saya baca di tahun 2015

Sebenarnya niat awal saya, saya ingin mengulas tiap-tiap buku tiap saya selesai membacanya secara mendalam dalam sebuah tulisan resensi. Tapi kenyataan berkata lain, bukannya sok sibuk, tapi harus saya akui saya masih saja memiliki masalah dengan mood untuk menulis. Kembali ke niat awal untuk mengulas masing-masing buku, berikut ulasan singkat saya tentang buku-buku yang telah saya baca di sepanjang tahun 2015 ini. Well, this is 2015 best nine books I've read!

Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme
Salah satu buku dengan alur kata-kata terbaik yang pernah saya baca. Buku yang mengulas buruknya praktik jurnalisme bencana di Indonesia ini disajikan dengan apik dengan bahasa narasi yang begitu mengalir oleh Ahmad Arif, wartawan di Kompas Gramedia berdasarkan pengalamannya meliput salah satu bencana terbesar di abad 21, tsunami Aceh pada tahun 2004 lalu. Narasumbernya lengkap, dilengkap data akurat, didukung narasi yang mencoba membawa para wartawan lain yang membacanya untuk langsung merasakan bertugas saat bencana melanda. Buku ini sebenarnya bukanlah buku yang baru terbit, buku ini terbit pertama April 2010 lalu. Tragedi jatuhnya pesawat Air Asia rute Surabaya-Singapura akhir tahun 2014 lalu yang memperlihatkan betapa tidak siapnya media Indonesia meliput musibah itu akhirnya menggelitik saya untuk memburu buku ini. Jawaban atas kegelisahan-kegelisahan terhadap buruknya praktik jurnalisme bencana oleh media Indonesia saya temukan di buku ini.
 
Mengawal Demokratisasi Media
Demokrasi memang membawa peluang sekaligus tantangan yang tidak mudah bagi negara seperti Indonesia. Euforia reformasi tahun 1998 dengan dijaminnya kebebasan berekspresi, berbicara dan pers ternyata tidak semulus yang terbayangkan. Media-media Indonesia kini dihadang berbagai permasalahan yang menghambat proses demokratisasi media seperti yang digaung-gaungkan oleh reformasi. Buku karya aktivis media, Amir Effendi Siregar ini berisikan opini-opininya tentang demokratisasi media yang ia tuliskan untuk kolom surat kabar setidaknya dalam kurun waktu tahun 1987 hingga 2014. Bagi pembaca yang teratik dengan dinamika kajian media seperti saya, buku ini salah satu buku recommended untuk dibaca sembari duduk santai dan tentunya minum kopi.

Jurnalisme Penyiaran dan Reportase Televisi 
Satu lagi buku tentang jurnalisme yang saya baca. Kali ini bicara tentang salah satu genre jurnalisme yang naik daun setelah reformasi dimana dunia kepenyiaran Indonesia tumbuh pesat bak hewan laron di musim hujan. Fajar Junaedi, penulis yang juga salah satu dosen saya di Ilmu Komunikasi UMY memaparkan jurnalisme penyiaran dan reportase televisi mulai dari konsep dasar, teknik, hingga implementasinya. Bahasanya tidak ngalor-ngidul, alias to the point. Mudah dipahami bagi pembaca terlebih mahasiswa broadcasting pemula yang tentu akan sangat nyambung ketika membaca buku ini.

A(9)ama Saya Adalah Jurnalisme 
Jujur, membaca judul buku ini langsung mengarahkan langkah kaki saya untuk menuju rak buku tentang jurnalisme di salah satu toko buku di Jogja ini pada waktu itu. Buku aktivis pers, Andreas Harsono ini cukup nendang bukan dari judulnya saja, melainkan juga isi. Membahas panjang apa itu jurnalisme hingga bagaimana jurnalisme diimplementasikan, dan tentu tidak ketinggalan jurus 9 elemen jurnalisme ala Bill Kovach menjadi bahasan pembuka di buku ini. Tentu menarik bagi kalian yang juga suka pada jurnalisme.

#TETOT: Aku, Kamu, dan Media Sosial  
Masih tentang media, namun isinya tidak 'seberat' buku-buku sebelumnya. Secara garis besar, buku ini membahas begitu besarnya peluang media sosial untuk dimanfaatkan demi kepentingan publik. Dalam bukunya ini, Walikota Bandung, Ridwan Kamil berhasil membuktikan hal itu. 'Anak twitter yang kebetulan jadi walikota' ini membuktikan pencapaian-pencapainnya sebagai orang nomor satu di Bandung ini dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat kontrol pemerintah sekaligus alat mendekatkan dirinya dan pemerintah yang ia pimpin dengan masyarakat. Segudang cerita inovasi pemerintah yang 'kekinian' berkaitan dengan media sosial ia ceritakan lengkap di buku ini dengan bahasa yang begitu mudah, ringan, terkesan nyleneh tapi justru dengan itu pesannya tersampaikan.


Notes From Qatar 3
Buku pengembangan diri juga menjadi salah satu genre favorit saya ketika berburu buku. Salah satu buku pengembangan diri terbaik yang saya baca adalah buku yang menceritakan tentang perjalanan seorang pemuda bernama Muhammad Assad ini. Perjalanan akademiknya hingga S2 di Qatar, menjadi CEO, dan juga enterprenur menjadi motivasi dan energi positif orang-orang pembacanya. Buku ini merupakan lanjutan dari dua buku dengan judul yang sama yanag kesemuanya berhasil menjadi national best seller. Luar biasa.

Andy Noya, Kisah Hidupku
Siapa tidak tahu host acara talkshow Kick Andy ini. Setelah bertahun-tahun mengupas kisah orang-orang hebat yang memberikan inspirasi, penulis Robert Adi KSP tertarik mengupas kisah hidup pembawa acara keturunan Belanda ini dalam sebuah buku biografi. Dari kisah leluhurnya yang merupakan warga Belanda hingga cerita masa kecilnya, dari ia menjadi wartawan hingga menjadi pimred Metro, dan dari ia berambut krebo hingga kini botak, diceritakan dengan baik dan runtut dalam buku yang menggunakan sudut pandang 'aku'-an ini. Menjadikan ceritanya menjadi lebih hidup.
 
Melunasi Janji Kemerdekaan
Buku bergenre biografi lainnya yang berhasil menarik perhatian saya untuk melahapnya adalah buku biografi salah satu tokoh penting di dunia pendidikan Indonesia saat ini, Anies Baswedan. Muhammad Husnil, sang penulis memulai kisah hidup beliau dengan kisah sang kakek, Abdurahman yang merupakan salah satu sosok berpengaruh dalam perjalanan bangsa Indonesia. Kisahnya berlanjut hingga Anies dewasa, menjadi rektor termuda di Universitas Paramadina, hingga menjadi pelopor pendidikan melalui gerakan Indonesia Mengajar. Sesuai judul bukunya, melalui dunia pendidikan, ia mencoba melunasi salah satu janji kemerdekaan; mencerdaskan kehidupan bangsa.

Building WOW: Indonesia Tourism and Creative Industry
Selain kajian jurnalisme/media dan biografi, saya juga interest dengan dunia kepariwisataan, terlebih dunia pariwisata Indonesia. Buku ini ditulis oleh Sapta Nirwandar, Wakil menteri Pariwisata era Presiden SBY. Sleeping Giant. Begitu ia menyebut negara dengan potensi pariwisata yang luar biasa ini. Industri pariwisata di dunia kini mulai dilirik sebagai penopang perekonomian negara. Di sisi lain industri kreatif terus berkembang yang menuntut setiap negara untuk bersaing menawarkan masing-masing pesonanya. Strategi-strategi untuk menghadapi hal itulah yan menjadi bahasan di buku setebal 220 halam ini.

Selasa, 06 Oktober 2015

Ketika Orang Beramai-ramai Jadi "Ustaz"

Zaman terus berkembang, teknologi semakin maju. Tidak melihat satu bidang, setiap bidang kehidupan tidak dapat lepas dari kemajuan itu. Teknologi informasi salah satunya. Tidak bisa dipungkiri lagi, masyarakat kini hidup di zaman di mana bagi dia yang tidak menguasai informasi maka dialah pengecut. Sebaliknya, bagi mereka yang mampu menguasai informasi maka dialah pemenang. Inilah realitas yang terjadi, di era informasi masyarakat dituntut untuk terus menerus mengonsumsi segala informasi yang ada, yang kini begitu mudah diakses siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. 

Hadirnya internet memang telah mengubah segala aspek. Di satu sisi mendatangkan manfaat yang besar, di sisi lain juga ditunggangi bahaya bagi mereka yang tidak bijaksana menyambutnya. Pola komunikasi yang dulu didominasi oleh era komunikasi massa, di mana masyarakat mengandalkan media massa seperti koran, majalah, televisi, atau radio untuk memenuhi kebutuhan informasi, kini era media baru dengan adanya internet perlahan namun pasti mengubah semua itu. Bak senjata yang hebat, internet telah mengubah kondisi sosial masyarakat. Jika pada era komunikasi massa masyarakat cenderung memiliki budaya partisipasi yang pasif terhadap konsumsi media, kini di era internet partisipasi aktif masyarakat sangat terlihat ketika mengonsumsi informasi. Satu poin penting yang sangat mendasar atas transisi kedua era tersebut, kini masyarakat bukan hanya konsumen, lebih dari itu, kini mereka mempunyai ruang untuk berbicara, saling berdiskusi, sampai-sampai saling berdebat akan suatu informasi yang dikonsumsi. Internet sebagai media baru memberikan ruang bebas bagi informasi melalui fitur-fiturnya seperti blog, media sosial, chat room, atau laman web. Segala informasi yang tidak terbatas seluruhnya berkumpul menjadi satu dalam wadah yang dinamakan internet, mulai dari politik, budaya, ekonomi, pendidikan, hingga informasi-informasi yang menyangkut agama pun ada di dalamnya. Website Islami sangat mudah kita jumpai di internet, untuk belajar tata cara beribadah tak perlu lagi harus ke pengajian, bahkan kini membaca Alquran cukup dengan aplikasi internet yang terhubung dengan gawai kita. Dahulu informasi-informasi khususnya berkaitan dengan agama seperti wahyu Tuhan disebarkan melalui lisan ke lisan, namun sekarang semua itu sudah tersedia di website-website agama yang menawarkan kemudahan untuk mengonsumsi hal tersebut. 


Semua Orang Bisa Jadi “Ustaz”

 

Tersedianya ruang yang bebas itu tidak sepenuhnya membawa efektivitas dan kemudahan bagi penggunanya, di sisi lain dengan adanya ruang bebas tersebut memunculkan kesempatan dan peluang untuk munculnya ruang perdebatan bagi penggunanya. Setiap pengguna internet bebas memosting apa saja dan berkomentar apa saja berkaitan dengan informasi-informasi agama tanpa memandang latar belakangnya apakah pemuka agama maupun bukan. Dalam agama-agama yang berkembang di dunia, agama Katolik tidak begitu mendapat imbas dari media baru ini, sebab otoritas agama Katolik terpusat di Vatikan yang dipimpin oleh Paus. Dalam kata lain, segala informasi tentang agama ini terpusat pada Paus sebagai pemimpin agama, maka jarang ditemui perdebatan-perdebatan tentang agama Katolik di media baru seperti media sosial. Berbeda dengan agama Islam, sepeninggal Nabi Muhammad SAW dan Khulafur Rasyidin sebagai pemimpin tertinggi agama, kini Islam tidak mempunyai pemersatu yang mempersatukan umat di dunia. Berbagai mazhab-mazhab dan aliran-aliran Islam bermunculan. Inilah yang menyebabkan sering terjadinya perdebatan-perdebatan antar sesama umat Islam di media baru seperti media sosial. Setiap orang merasa pemahamannya tentang agama adalah yang paling benar, sehingga sampai berani saling mengafirkan, saling klaim siapa yang benar dan siapa yang salah. Walaupun dalam agama ini dikenal adanya imam, namun otoritas imam tidak dapat menjadi kekuasaan paling tinggi dalam Islam, selama ini dalam Islam, imam dikenal sebagai orang yang memimpin salat, bukan sebagai pemimpin agama. Walaupun juga dalam Islam dikenal adanya mufti atau orang yang berhak memberi keputusan, namun sering terjadi perbedaan dan perselisihan dalam memutuskan sebuah fatwa (keputusan) tentang hal-hal yang menyangkut tentang keagamaan.

Hal inilah yang membuat Bryan Turner dalam artikelnya Religious Authority and The New Media (2007) menuliskan bahwa pada era masyarakat informasi di mana media baru telah hadir di masyarakat, otoritas pemuka agama seperti ulama, ustadz, atau pendeta yang dulunya berperan dalam menyampaikan informasi-informasi agama telah hilang. Kini setiap orang beramai-beramai muncul sebagai “ustaz” yang merasa paling tahu dan paling benar. Dengan kata lain, internet telah menjadikan setiap orang menjadi pembuat fatwa agama.

Dalam kasus yang paling hangat, Teuku Wisnu dalam acara Berita Islami Masa Kini episode 2 September 2015 lalu misalnya. Ketika ia mengatakan bahwa membaca Al-Fatihah untuk orang yang meninggal adalah sesuatu yang salah, sontak hal ini langsung memicu perdebatan keras di media sosial seperti facebook dan twitter. Banyak dari pengguna media sosial yang tidak terima dengan pernyataan tersebut, walaupun tidak sedikit pula yang mengiyakan. Pada kasus lain, konsep Islam Nusantara yang digaungkan oleh organisasi Nahdhatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu juga sempat mengundang debat kusir antar sesama umat Islam di media sosial. Banyak yang mengapresiasi, banyak pula yang mengatakan konsep tersebut tidak sejalan dengan syariat agama.

Isu-isu menyangkut tentang agama seakan memang “lezat” untuk diperdebatkan. Sebagai isu yang sensitif, perlu adanya kehati-hatian dalam menyampaikan segala informasi yang berkaitan dengan agama, apalagi jika dalam agama tersebut telah terdapat pemahaman-pemahaman yang berbeda-beda antar pengikutnya. Kebijaksanaan mutlak dibutuhkan dalam menyikapi hadirnya media baru sebagai sarana informasi masyarakat di era informasi saat ini. Indonesia dengan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia dan juga memiliki pengguna internet yang juga tidak sedikit harus berhati-hati. Sebab sejatinya segala informasi disampaikan untuk memperkuat integritas nasional, bukan sebaliknya.

Kamis, 30 Juli 2015

Karena Kita "Pemilik Media" Sebenarnya

Sudah bukan rahasia lagi, televisi adalah media yang menjadi rujukan utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan informasi sehari-hari. Walaupun kecenderungan belakangan ini terus terjadi peningkatan pengguna media online, namun televisi masih menjadi primadona masyarakat untuk mengonsumsi segala informasi maupun hiburan setiap harinya. Sadar akan potensi pasar yang begitu besar di masyarakat Indonesia, stasiun televisi berlomba-lomba merebut hati penontonnya dengan membuat berbagai program acara mulai dari program berita, sinetron, film pendek, kuis, hingga infotaiment. Televisi sebagai salah satu komponen yang tergabung dalam media yang sudah memasuki ranah industri terus berlomba menggali penonton sebanyak-banyaknya dengan tujuan lain tidak bukan untuk menaikkan rating program acara. Program acara televisi yang memiliki rating yang tinggi akan menarik banyak pengiklan yang siap merogoh kocek dalam bagi stasiun televisi. Persaingan ketat mendorong para tim kreatif stasiun televisi untuk menyuguhkan program acara semenarik mungkin, hingga tidak jarang tim kreatif yang "terlalu kreatif" akhirnya memunculkan program-program acara yang melanggar ketentuan dan etika penyiaran yang tidak memperdulikan kepentingan publik lagi, prinsipnya program tersebut dapat menarik profit sebesar-besarnya bagi perusahaan. Banyak program-program tersebut sengaja dibumbui kekerasan, pornografi, hingga guyonan-guyonan murahan yang sebenarnya keseluruhan program acara televisi tersebut menggunakan frekuensi yang sejatinya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan publik

Mengenal frekuensi publik

Kita seringkali mendengar atau membaca slogan-slogan pada gerakan-gerakan literasi media, "Frekuensi Milik Publik!". Namun, sebenarnya apa yang dimaksud dengan frekuensi tersebut? Frekuensi adalah gelombang elektromagnetik di udara yang berfungsi sebagai penghantar sinyal. Penggunaan frekuensi tersebut dimanfaatkan dalam berbagai bidang, seperti penerbangan, hingga termasuk untuk televisi. Tanpa adanya frekuensi, program-program siaran televisi yang diproduksi stasiun televisi di studio tidak akan sampai pada layar televisi kita di rumah kita. Seperti bumi, air, dan udara, frekuensi merupakan salah satu kekayaan bangsa. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 menuliskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk rakyat. Secara sederhana, dapat kita analogikan industri televisi hanya meminjam frekuensi yang dimiliki oleh kita untuk menghantarkan sinyal program. Lalu, bagaimana jika frekuensi yang dimanfaatkan untuk kepetingan publik ini dipersalahgunakan? Tentu kepentingan publik terabaikan bukan? Sebenarnya apa pentingnya acara siaran langsung pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina bagi kita? Lalu, apa pentingnya pula bagi publik program siaran "Tujuh Bulanan Ashanti"? Belum lagi, apakah kita tidak marah apabila frekuensi publik ternyata dimanfaatkan oleh golongan elit partai politik untuk mengais-ngais suara pemilih lewat kampanyenya? Tentu mencederai kepentingan publik, bukan?

Pentingnya mengadukan program televisi bermasalah

Saya ingat perkataan salah satu komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat beberapa bulan yang lalu ketika saya berkesempatan berkunjung ke kantor KPI. Saya menanyakan kepada beliau, sebenarnya seberapa penting peran masyarakat dalam mengawasi dan mengontrol penyiaran di Indonesia? Jawabannya adalah sangat penting. Dalam melaksanakan fungsinya untuk mengawasi dan mengontrol penyiaran di Indonesia, selain melakukan pengawasan secara langsung terhadap penyiaran, KPI sangat terbantu dengan aduan program siaran yang bermasalah yang dilaporkan oleh masyarakat. Seperti diketahui, KPI sebagai lembaga negara independen membuka aduan akan program-program televisi yang melanggar untuk nantinya akan ditindaklanjuti. Walaupun, selama ini kepedulian masyarakat untuk mengadukan tayangan bermasalah memang masih rendah. Padahal sebenarnya melaporkan tayangan bermasalah begitu sangat mudah, apalagi dengan hadirnya aplikasi android Rapotivi, dimana masyarakat dapat lebih mudah melaporkan tayangan bermasalah yang nantinya akan diteruskan ke KPI. Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak mau melaporkan tayangan-tayangan televisi Indonesia yang bermasalah, demi terwujudnya penyiaran yang mementingkan kepentingan publik tentunya. Berangkat dari frekuensi milik publik, maka tidak berlebihan apabila saya katakan kita lah "pemilik media" sebenarnya.

Rabu, 08 Juli 2015

Menjual Air Mata, Mengatasnamakan Rasa Iba

Peristiwa kecelakaan pesawat militer milik TNI angkatan udara Hercules C130 di Medan, Sumatera Utara pada Selasa, 30 Juni 2015 lalu langsung menarik perhatian publik. Pesawat yang membawa sebanyak 113 penumpang itu jatuh menimpa beberapa bangunan dan kendaraan di jalan Medan Ginting, Medan. Peristiwa ini sontak membuat masyarakat di sekitar tempat kejadian untuk berbondong-bondong mendekat melihat bangkai pesawat yang sudah terbakar. Tidak terkecuali bagi pelaku media, dengan cepat pawa wartawan segera diterjunkan untuk meliput peristiwa ini. Informasi mengenaik kecelakaan pesawat Hercules C130 begitu cepat tersebar, terlebih melalui media sosial dan televisi. Berdasarkan pantauan saya pada hari itu, sebagian besar stasiun televisi nasional seperti Kompas TV, TVOne, Metro TV, Global TV, dan lainnya langsung memotong acara dan berlomba-lomba menyiarkan Breaking News secara langsung. Kerumunan warga, kobaran api yang besar, hingga luluh-lantahnya tempat kejadian menjadi pemandangan di hampir seluruh layar kaca siang itu.

Pada awalnya segala proses peliputan berfokus pada kronologi kecelakaan pesawat Hercules C130, ada berapa penumpang, dan informasi-informasi lainnya berkaitan dengan itu. Namun, semakin kesini obyek peliputan semakin meluas. Peliputan tidak lagi berfokus pada hal-hal yang bersifat kronologis, melainkan meluas ke hal-hal yang sebenarnya di luar lingkup peristiwa. Berita-berita haru tentang kecelakaan pesawat Hercules C130 pun menjadi berita yang sering muncul. Raut wajah sedih dan derai air mata keluarga korban, kisah-kisah pribadi korban dengan keluarganya, hingga kompilasi video bumper tentang kecelakaan pesawat Hercules C130 sengaja dibuat sedramatis mungkin dan ditampilkan secara berulang-ulang hingga memancing rasa haru bagi siapa saja penonton yang melihat itu melalui televisi.  

Aturan tentang peliputan bencana

Bencana memang sesuatu yang tidak dapat kita elakkan. Kapan pun dan dimana pun bencana dapat saja terjadi sewaktu-waktu, baik bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami atau bencana seperti kecelakaan pesawat atau kapal tenggelam. Televisi sebagai salah satu media berfungsi sebagai pihak yang menginformasikan suatu bencana yang terjadi untuk memenuhi kebutuhan publik untuk segera mengetahui hal itu. Dalam proses peliputan suatu bencana, dikenal konsep jurnalisme bencana (disaster journalism) yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang harus ditaati oleh media baik cetak, online, dan tidak terkecuali media televisi. Dalam dunia penyiaran Indonesia, peliputan bencana diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen negara yang memiliki wewenang mengatur dan mengawasi penyiaran Indonesia. Peliputan bencana tersebut diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran pasal 25 yang memiiki beberapa poin sebagai berikut: (a) melakukan peliputan subjek yang tertimpa musibah dengan wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya; (b) tidak menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/atau keluarga yang berada pada kondisi darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, dan/atau mengintimidasi korban dan/atau keluarganya untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya; (c) menyiarkan gambar korban dan/atau orang yang sedang dalam kondisi mendertia hanya dalam konteks yang dapat mendukung tayangan; (d) tidak menggangu pekerja tanggap darurat yang sedang bekerja menolong korban yang kemungkinan masih hidup; dan (e) tidak menggunakan gambar dan/atau suara korban bencana dan/atau orang yang sedang dalam kondisi menderita dalam filler, bumper, ramp, yang disiarkan berulang-ulang. Apabila kita melihat apa yang ditampilkan oleh televisi pada peliputan peristiwa kecelakaan pesawat Hercules C130 di Medan tentu bertentangan dengan peraturan yang berlaku tentang peliputan bencana. Mengatasnamakan rasa iba, televisi seolah “menjual” air mata dan kesedihan keluarga korban memanfaatkan momentum bencana yang sedang terjadi demi menaikkan nilai jual berita tersebut.

Menilik bagaimana konsep jurnalisme bencana yang sesuai, peran media terlebih televisi sebagai rujukan informasi yang paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat memiliki peran yang vital dan strategis sebagai sumber informasi tentang peristiwa bencana yang terjadi kepada khalayak secara cepat. Informasi tentang peristiwa bencana tidak hanya terbatas pada saat bencana itu terjadi, melainkan juga sebelum dan sesudah peristiwa itu terjadi. Dalam hal ini media memiliki fungsi surveillance, artinya media berfungsi menginformasikan tentang sesuatu yang mengancam masyarakat luas dalam hal ini adalah bencana. Pada saat sebelum bencana terjadi, berfungsi untuk menginformasikan kepada khalayak mengenai hal berkaitan dengan mitigasi bencana, cara menyelamatkan diri, hingga mengenali tanda-tanda akan terjadinya bencana. Pada saat bencana terjadi, peran media menjadi sangat penting untuk menginformasikan situasi dan keadaan saat terjadi bencana secara cepat dan tepat kepada khalayak. Setelah terjadi bencana, peran media berfungsi sebagai pembentuk solidaritas sosial, membangkitkan psikis dan moril korban, dan menginformasikan tentang ancaman yang mungkin dapat terjadi misal ancaman akan munculnya wabah penyakit setelah terjadinya banjir.

Buruknya penerapan peliputan bencana di Indonesia ini bukanlah yang pertama kali, tentu kita masih sangat ingat peristiwa jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 rute Surabaya-Singapura beberapa bulan lalu, bagaimana TVone menjadi bahan olok-olokan setelah menyiarkan gambar jenazah tanpa sensor, bagaimana wartawan Metro TV memaksa keluarga korban untuk diwawancarai padahal sedang dalam kondisi yang sangat terpukul. Melihat apa yang terjadi di pertelevisian Indonesia ini maka dapat kita simpulkan bahwa penerapan jurnalisme bencana di Indonesia masih menjadi hal yang normatif dan belum diterapkan dengan sebaik-baiknya. Seringnya terjadi bencana di Indonesia seperti gempa bumi, banjir, gunung meletus dan lain-lain seharusnya membuat media di Indonesia khususnya televisi dapat belajar untuk lebih siap dan lebih bijak dalam melakukan peliputan bencana. Tidak dipungkiri lagi negara Indonesia yang secara geografis sebagai negara kepulauan yang luas yang merupakan daerah rawan bencana, maka penerapan jurnalisme bencana seharusnya menjadi hal yang penting untuk dikaji dan diimplementasikan dengan baik.

Senin, 29 Juni 2015

Travel Journalism dan Perannya bagi Pariwisata Indonesia

Sebuah pembahasan yang menarik pada sebuah seminar nasional yang mengangkat tema peran Travel Journalism terhadap pengembangan pariwisata Indonesia beberapa waktu yang lalu di Universitas Diponegoro. Hadir dalam seminar itu Pak Tazwir, Kepala Bidang Promosi dalam Negeri Kementerian Pariwisata Republik Indonesia, Fitraya Ramadany, redaktur pelaksana portal Detik Traveller, dan Muhammad Syukron, pegiat Traveller Kaskus. Berikut coba saya ulas kembali perbincangan panjang dengan mereka kepada kawan-kawan semua dengan sedikit tambahan dari beberapa literatur yang saya baca khususnya mengenai pariwisata dan jurnalistik.

"Tourism contributes to the success of the America and world economies.." - Barack Obama

Pariwisata sudah menjadi industri yang sangat potensial bagi banyak negara di dunia. Bagi negara-negara maju, pariwisata menjadi salah satu penopang perekonomian negara. Pariwisata merupakan industri terbesar ketiga di Amerika Serikat. Bahkan. Di negara berkembang pun, industri pariwisata mulai dilirik oleh pemerintah. Tengoklah Korea Selatan, Tiongkok, Malaysia, Thailand, hingga negara kawasan Timur Tengah seperti Uni Emirat Arab yang gencar menggarap sektor pariwisatanya sebagai penopang perekonomian. Atau kita perlu menengok ke sebuah negara kecil di timur benua Afrika, Maladewa, yang mana merupakan negara yang perekonomiannya ditopang oleh pariwisata sebagai sumber pendapatan utamanya. Bagaimana dengan Indonesia? Negeri Gemah Ripah Loh Jinawi ini memiliki kekayaan potensi pariwisata yang sungguh luar biasa apabila digarap serius. Dengan 35 persen alam, 60 persen budaya, dan lima persen wisata buatan. Tidak heran apabila Sapta Nirwandar, mantan Wakil Menteri Pariwisata Republik Indonesia dalam bukunya "Building Wow: Indonesia Tourism and Creative Industry" menjuluki Indonesia sebagai The Sleeping Giant, raksasa yang sedang tertidur. Bagaimana tidak? Menyebar luas dari Sabang sampai Merauke, keanekaragaman potensi wisata Indonesia bisa dibilang salah satu yang paling lengkap di dunia. Mulai dari alamnya yang memesona (nature), keramahan masyarakat (people), hingga kearifan budaya yang beragam dan khas tiap daerah (culture) adalah harta karun yang tak terbantahkan bagi pariwisata Indonesia. Berangkat dari hal tersebut, maka sudah tiba saatnya segala potensi tersebut digarap dan dikelola dengan baik dan serius. Kementerian Pariwisata sebagai regulator, pelaku wisata sebagai fasilitator, dan para wisatawan sebagai konsumen merupakan tiga komponen yang akan menggerakan roda industri pariwisata. Salah satu poin penting dalam pengelolaan itu adalah mengenalkan potensi pariwisata tersebut kepada para calon wisatawan, baik lokal maupun mancanegara. Di sinilah media mengambil peran strategis dalam hal mempromosikan pariwisata. Media yang dimaksud berarti luas, baik media cetak, elektronik, hingga media online.



Mengenal Travel Journalism

Ketika kita bicara media dan pariwisata, maka tidak adil jika kita tidak membahas konsep jurnalisme yang mempertemukan kedua hal ini. Muncullah konsep Travel Journalism sebagai genre jurnalisme yang berfokus pada cerita perjalanan seseorang. Secara sederhana, "travel" berarti perjalanan, dan "journalism" berarti jurnalisme. Jadi dapat kita tarik makna Travel Journalism sebagai jurnalisme yang memfokuskan pada liputam perjalanan. Perjalanan yang dimaksud disini  memiliki arti yang sangat luas. Bisa jadi perjalanan wisata, berziarah, bertualang, dan sebagainya. Mengutip tulisan Satrio Arismunandar, salah satu aktivis Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, dalam tulisannya berjudul "Mengenal Jurnalisme Perjalanan (Travel Journalism) dan Program Jelajah, cikal bakal adanya genre jurnalisme perjalanan ini tidak begitu jelas. Apabila kita kaitkan dengan cerita perjalanan oleh tokoh-tokoh penjelajah seperti Marcopolo, Vasco Da Gama, ataupun Laksamana Chengho yang menuliskan perjalanan mereka mengelilingi dunia maka bisa dibilang konsep ini sebeneranya sudah cukup lama ada.

Di Indonesia, jurnalisme perjalanan selama ini memang erat kaitannya dengan sebuah perjalanan wisata. Dengan megunjungi tempat-tempat wisata, cerita perjalanan ditulis dengan tujuan sekedar membagi pengalaman hingga usaha promosi tempat wisata itu sendiri. Seperti yang saya tulis di awal, bentuk medianya dapat bermacam-macam. Apabila kita mengamati beberapa surat kabar di Indonesia, kebanyakan telah menyediakan rubrik tersendiri khusus untuk mengulas tempat-tempat wisata dan cerita perjalanannya. Di program televisi apalagi, hampir setiap stasiun televisi mempunyai program wisata jalan-jalan seperti program "My Trip My Advanture" Trans TV, "100 Hari Keliling Indonesia" Kompas TV, "Jejak Petualang" Trans 7, dan program-program lainnya. Lalu bagaimana di internet sebagai media baru? Jawabannya lebih mudah kita temui. Wisata seperti mempunyai tempat tersendiri di dunia maya, apalagi di era orang-orang sebagai pengguna media sosial. Kemudahan akses informasi telah mengubah paradigma wisata masyarakat yang dulunya lebih mengandalkan media cetak atau televisi untuk mencari tahu tentang suatu tempat tujuan wisata, kini semua itu begitu mudah diakses melalui internet. Blog-blog tentang wisata Indonesia begitu berkembang, hampir semua portal berita online kini mempunyai kanal khusus untuk informasi travelling. Belum lagi jika kita melihat tren media sosial yang membuat orang-orang kini suka bepergian dan mendokumentasikan perjalanan mereka dalam tulisan dan foto walaupun sebatas informasi singkat. Melihat jumlah pengguna internet di Indonesia yang mencapai 88 juta pengguna pada tahun 2014 dan masih terus tumbuh, maka internet menjadi prospek bagus ladang promosi di masa-masa mendatang.

Datang, tulis, sebar
                                                                                                                                                       www.scoopwhoop.com
Lalu sekarang pertanyaannya, bagaimana peran Travel Journalism terhadap pariwisata itu sendiri? Dengan jurnalisme perjalanan entah itu tulisan, visual, suara, ataukah gabungan ketiganya memiliki peran bagi pengembangan pariwisata Indonesia antara lain:
 
1. Menciptakan wisata baru
Pergi menjelajahi tempat-tempat baru memang sedang menjadi tren di Indonesia. Oleh karena itu, tidak sedikit tempat-tempat yang dulunya bukan tempat tujuan wisata menjadi tempat wisata baru yang banyak dikunjungi oleh wisatawan. Dulu masyarakat Bandung tidak mengenal apa itu Tebing Keraton, kini tempat tersebut ramai dikunjungi wisatawan. Mungkin dulu orang-orang di Jogja tidak pernah berpikiran untuk foto di atas rumah pohon dengan latar belakang Waduk Sermo dan perbukitan Menoreh di Kalibiru. Atau Mungkin dulu orang tidak akan pernah tau apabila tidak membaca tulisan perjalanan seseorang di blog tentang pantai cantik yang tersembunyi di balik perbukitan di Gunungkidul, namun karena persebaran informasi yang begitu cepat melalui media sosial tentang tempat tersebut, tempat-tempat wisata yang dulunya tidak ada tersbut kini ramai dikunjungi wisatawan, Sekali lagi hal itu tidak lepas dari cerita-cerita dan pembicaraan yang tersebar viral tentang  tempat wisata baru tersebut.

Kalibiru, menjadi booming karena media sosial (piknikdong.com)


2. Mempopulerkan wisata yang sudah ada
Promosi pariwisata yang tidak maksimal seringkali menjadi hambatan bagi kebanyakan daerah di Indonesia. Padahal jika dilihat, potensi yang tersedia begitu luar biasa apabila dipromosikan dengan baik. Banyak wisata yang sebenarnya telah dikelola oleh pemerintah sebagai operator pariwisata, namun sepi wisatawan. Maka di sinilah kita dapat melihat bagaimana jurnalisme perjalanan dapat menjadi solusi bagi permasalahan promosi yang kurang maksimal. Disadari atau tidak, para jurnalis perjalanan, dalam hal ini para wisatawan adalah para duta-duta wisata bagi tempat yang ia kunjungi. Melalui cerita perjalanan yang ia tulis, akan semakin banyak orang tahu tentang suatu tempat wisata. Apalagi kalau kita melihat bahwa ada kecenderungan orang-orang akan lebih tertarik dengan testimoni temannya daripada mengetahui informasi tersebut dari iklan.

3. Menyelamatkan perekonomian
Wow berat juga ya ngomongin perekonomian. Tapi serius kawan, pariwisata sejatinya dikembangkan dan dikelola demi satu tujuan utama, mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Hal itu dapat terwujud apabila, kondisi perekonomian masyarakat itu sendiri bagus. Sederhananya begini, pada awalnya para wisatawan mendapatkan informasi-informasi wisata yang ia butuhkan, karena tertarik dengan tempatnya, setelah itu mereka memutuskan untuk mengunjungi tempat wisata tersebut,  untuk melakukan perjalanan wisata tentu tidak mungkin tanpa mengeluarkan biaya selama perjalanan, seperti uang tiket, uang makan, sampai uang untuk membeli oleh-oleh. Mmau tidak mau wisatawan hars mengeluarkan biaya untuk hal itu. Peredaran uang pun berputar, semakin banyak dan sering uang berputar maka tingkat perekonomian masyarakat tersebut akan semakin baik. Nggak main-main ya manfaatnya.

Minggu, 31 Mei 2015

Hari Anti Tembakau Sedunia: Bagaimana Penyiaran Mengatur Iklan Rokok?

Setiap tanggal 31 Mei diperingati sebagai hari tanpa tembakau sedunia. Bagaimana aturan penyiaran iklan rokok di Indonesia?

Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia telah mengatur hal itu. Tepatnya pada Pasal 27 ayat 2 Pedoman Perilaku Penyiaran yang berbunyi: Program siaran yang bermuatan penggambaran pengkonsumsian rokok dan/atau minuman beralkohol: a. hanya dapat ditayangnkan dalam program yang ditujukan bagi khalayak dewasa; dan b. wajib diampilkan sebagai perilaku dan gaya hidup yang negatif dan/atau melanggar hukum, serta tidak digambarkan sebagai sesuatu yang hebat dan menarik.

Lebih lanjut iklan bermuatan rokok diatur dalam Standar Program Siaran (SPS) dalam Bab XXIII tentang Siaran Iklan pasal 59 ayat 1 dan 2: Program siaan iklan rokok hanya boleh disiarkan pada pukul 21.30-05.00 waktu setempat. Program siaran yang berisi segala bentuk dan strategi promosi yang dibuat oleh produsen rokok wajib dikategorikan sebagai iklan rokok.

Salah satu contoh iklan rokok yang digambarkan sebagai sesuatu yang hebat tidak sesuai
dengan regulasi penyiaran dari KPI

Sudahkah Dipatuhi?
Jawabannya belum sepenuhnya. Produsen rokok bersama lembaga penyiaran dalam hal ini media yang menyiarkan iklan tidak jarang melanggar regulasi yang telah ditentukan oleh KPI tentang siaran iklan rokok, khususnya di televisi. Iklan rokok tidak jarang menyelinap mencuri-curi waktu tayang yang seharusnya haya diperbolehkan pada pukul 21.30-05.00 waktu setempat. Iklan rokok juga seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang hebat dan merupakan gaya hidup yang terlihat "keren" yang sebenarnya tidak dibenarkan dalam regulasi penyiaran.

Minggu, 17 Mei 2015

Aku, Kamu, dan KPI

Informasi adalah ruh demokrasi. Tanpa keterbukaan informasi demokrasi tidak mampu berjalan semestinya. Tidak ada campur tangan, kekangan, pembatasan yang dilakukan oleh penguasa atas arus informasi yang menyebar luas di masyarakat. Amir Effendi Siregar, staf pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Indonesia (UII) dalam bukunya yang berjudul "Mengawal Demokratisasi Media: Menolak Konsentrasi Membangun Keberagaman" menyatakan demokratisasi media ialah bagian penting dari usaha membangun demokrasi. Lebih lanjut ia menerangkan demokratisasi media ialah usaha menjamin, menegakkan kemerdekaan dan kebebasan berekspresi, berbicara dan kemerdekaan pers.

Seiring demokratisasi media, setelah reformasi lembaga-lembaga media bermunculan bak jamur di musim hujan, lembaga penyiaran yang di dalamnya ada radio dan televisi menunjukkan perkembangan pesat pasca reformasi. Pesatnya perkembangan lembaga penyiaran di Indonesia di satu sisi membawa potensi ancaman penyalahgunaan frekuensi publik demi kepentingan pribadi maupun kelompok yang tentu mengancam kepentingan publik. Untuk itulah dibentuklah suatu lembaga independen yang berfungsi mengatur dan mengawasi jalannya penyiaran di Indonesia agar sebesar-besarnya dilaksanakan bagi kepentingan publik yang sehat. Sebagaimana yang tertuang pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 ayat 3 yang menyebutkan bahwa "Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia."

Lebih Dekat Dengan KPI
Di Indonesia, lembaga independen yang memiliki wewenang membuat regulasi dan pengawasan penyelenggaraan penyiaran ialah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan dasar utama didirikannya lembaga ini pada tahun 2002 lalu.

November tahun 2014 lalu, kami, saya bersama dengan rekan-rekan dari Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berkesempatan mengunjungi kantor pusat Komisi Penyiaran Indonesia. Kunjungan ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan Kuliah Kunjungan Lapangan (KKL) Media selama empat hari di kantor-kantor media di Jakarta. Sempat sedikit bingung menemukan kantor KPI, sebab kantor KPI pusat menempati satu gedung di Gedung Bapeten RI, tepatnya di lantai empat. Sesampai di sana, kami diarahkan menuju ruang pertemuan yang biasa digunakan sebagai pertemuan komisioner pusat KPI untuk memulai acara diskusi dengan perwakilan KPI yang diwakili dua orang komisioner yang saya lupa namanya. Dijelaskan dengan sangat jelas seluk beluk tentang KPI dari awal berdirinya, visi misinya, fungsi serta tujuan dengan adanya KPI oleh mereka.
Dalam menjalankan fungsinya untuk mengatur dan mengontrol penyiaran di Indonesia, KPI mempunyai regulasi yang digunakan sebagai dasar acuan penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Regulasi tersebut tertuang lengkap pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dengan regulasi inilah segala penyelenggaraan penyiaran di Indonesia diatur dan diawasi demi menjaga terpenuhinya kepentingan-kepentingan publik. Jika kita lihat, ada kemiripan antara KPI dengan Lembaga Sensor Film. Serupa tapi tak sama, apabila lembaga sensor mengontrol penyiaran sebelum siaran tersebut disiarkan, maka KPI berwenang mengontrol dan mengawasi penyiaran ketika dan setelah siaran itu disiarkan.

"UUD-nya KPI" jadi oleh-oleh  menarik setelah kunjungan di kantor pusat KPI (dok pribadi)

Pada sesi diskusi, saya tergelitik untuk mengajukan tiga pertanyaan sekaligus setelah mendengar penjelasan. Yang pertama, apakah KPI memiliki kedudukan dan kewenangan yang kuat dalam mengatur penyiaran di Indonesia? Kedua, seberapa jauh peran serta masyarakat membantu KPU dalam upaya mengontrol penyiaran? Dan yang ketiga, apa sebenarnya alasan KPI melarang kartun Spongebob? Pertanyaan ketiga ini memang muncul karena pada saat itu sedang hangat-hangatnya pemberitaan tentang KPI yang akan melarang kartun Spongebob Squarepant dan beberapa kartun lainnya karena dianggap bermuatan konten kekerasan, walaupun pada akhirnya bukan dilarang. Di sisi lain, saya sendiri salah satu penggemar Spongebob Squarepants.

Jangan ganggu, sedang rapat komisioner KPI hehe (dok pribadi)
Mengenai kedudukan KPI, bisa dibilang kedudukan dan kewenanan KPI dalam mengatur dan mengontrol penyiaran Indonesia tidak kuat. Seperti dijelaskan, apabila ada program siaran yang melanggar regulasi maka KPI tidak mempunyai wewenang untuk memberhentikan program tersebut. KPI hanya dapat memberikan rekomendasi pemberhentian program siaran yang nantinya diputuskan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo). Dalam hal ini, KPI hanya berhak memberikan teguran dan peringatan yang ditujukan pada pemilik program siaran tersebut. Apabila program siaran tersebut masih saja melanggar, KPI akan memberikan peringatan kedua, masih melanggar? KPI akan memberikan sanksi berupa pembatasan durasi. Apa? masih saja melanggar? Jawabannya KPI berhak menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara program siaran tersebut dalam waktu yang relatif yang tidak lama, bukan memberhentikan secara permanen. Hal itu di luar wewenang KPI.

Ingat program YKS? Program yang berkali-kali mendapat teguran dari KPI ini akhirnya diberhentikan secara sementara oleh KPI beberapa waktu yang lalu, imbas dari pemberhentian sementara tersebut membuat program ini ratingnya turun drastis sehingga menjadi hal yang sulit untuk menaikkan rating itu kembali tinggi. Alhasil, program tersebut tidak tayang kembali.

Lalu sejauh mana peran masyarakat dalam membantu KPI dalam pengawasan penyiaran? KPI sebenarnya telah memberikan fasilitas aduan program siaran pada masyarakat untuk mengadukan program-program siaran yang melanggar peraturan. Program aduan tersebut dapat digunakan melalui sms pengaduan, website, hingga telepon. Walaupun pada realitasnya, fasilitas aduan ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Namun bukan berarti KPI tidak akan bertindak jika tidak ada laporan, melainkan KPI mempunyai staf-staf yang mengawasi siaran selama 24 jam non-stop! Sebuah ruangan tidak terlalu besar di dalamnya terdapat bilik-bilik di mana tiap bilik terdapat satu monitor yang digunakan sebagai televisi disediakan untuk memantau secara langsung program-program televisi Indonesia. Seluruh stasiun televisi swasta maupun nasional dipantau disini oleh para staf KPI. Biasanya mereka bekerja dengan sistem shift pagi, siang, dan malam. Sebuah buku catatan pelanggaran dan alat tulis menjadi pegangan setiap staf untuk mencatat apabila terjadi pelanggaran pada program televisi yang sedang ia pantau. Asik juga ya kerja mereka.

Salah satu sfaf KPI ini sedang mengawasi salah satu program SCTV, seru juga nih sekalian nonton FTV


KPI Tidak Bisa Sendirian
Sebuah survei baru-baru ini yang dipublikasikan oleh Remotivi, lembaga studi media khususnya televisi menyebutkan bahwa tingkat kepedulian masyarakat untuk melaporkan aduan atas penyiaran di Indonesia sangat rendah. Survei yang melibatkan 310 responden yang merupakan mahasiswa non komunikasi dari beberapa kota menyatakan bahwa 86,7 persen atau sebanyak 176 orang tidak menggunakan fasilitas aduan dari KPI meskipun mengetahui adanya fasilitas tersebut. Artinya hanya 13,7 % atau sebanyak 13 orang dari responden yang menggunakan fasilitas aduan tersebut kepada KPI (remotivi.or.id). Faktornya bisa saja karena memang tingkat kepedulian masyarakat rendah, ketidaktahuan, atau justru mengganggap program televisi Indonesia baik-baik saja. Satu pon penting dari artikel ini, program siaran televisi Indonesia sangat beragam. Semangat demokratisasi media demi mewujudkan penyiaran yang sehat dan berkualitas sudah tentu harapan kita bersama, aku, kamu, dan KPI. Mau sampai kapan program-program siaran Indonesia gitu-gitu aja?

Sabtu, 02 Mei 2015

Mengawal Kebebasan Pers di Indonesia

Artikel ini sengaja saya tulis menjelang peringatan World Press Freedom Day yang diperingati setiap tanggal 3 Mei yang coba saya kaitkan dengan mata kuliah Komunikasi Politik tentang kebebasan pers yang disampaikan oleh dosen beberapa minggu lalu.

Selasa, 21 April 2015

Harta, Tahta, Media: Ketika Media Kehilangan Idealismenya

Berbicara tentang politik memang tidak ada habisnya, selalu banjir interupsi, belum lagi jika sedang membicarakan hingar bingar pemilihan umum tahun 2014. Adu argumen, saling sanggah menyanggah, dan tentunya debat kusir tak terelakkan. Setidaknya itulah suasana yang dapat digambarkan di kelas pada awal mata kuliah komunikasi politik beberapa minggu lalu.

Minggu, 19 April 2015

Jurnalisme Drone, Lebih dari Sekedar Gaya-gayaan

Persaingan dunia media yang ketat dewasa ini mendorong munculnya konsep jurnalisme baru dimana pesan yang disampaikan dapat lebih menarik dan interaktif. Jurnalisme drone atau Drone Journalism hadir sebagai terobosan baru bagaimana bentuk pesan disampaikan dengan lebih menarik. Konsep jurnalisme drone telah menawarkan pengonsumsian pesan dengan perspektif baru dimana visual yang disampaikan bukan hanya sebatas sederajat dengan obyek lagi.

Selasa, 31 Maret 2015

Literasi Media: Diam Bukanlah Pilihan!


Kehadiran media massa yang berkembang pesat saat ini baik cetak, elektronik, maupun internet sebagai media baru telah mengubah model penyampaian informasi menjadi lebih masif dan lebih cepat. Selain menjadi alat pemenuh kebutuhan masyarakat akan informasi yang tinggi, media juga berfungi sebagai untuk mengontrol, mengawasi, dan menghibur. 

Selasa, 10 Maret 2015

Hari Perempuan Sedunia: Bagaimana Media Memandang Perempuan?


Duh, seger bener ya bawaannya baca artikel ini. Belum apa-apa sudah disuguhin foto ilustrasi begituan. Jangan berpikiran kemana-mana dulu. Kita mau sharing lagi nih. Kali ini tentang peringatan Hari Perempuan Sedunia. Lho, apa hubungannya? Membicarakan media memang nggak ada habisnya, media selalu berkaitan dengan hampir setiap hal, tak terkecuali dengan perempuan.

Ketika Media Bicara Multikulturalisme


Selalu ada permasalahan ketika membicarakan multikulturalisme. Sebab tidak setiap orang pro terhadap paham multikulturalisme, namun juga ada orang yang kontra terhadap multikulturalisme. Menurut Bikhu Parekh dalam Yohanes Widodo (2008:88) menjelaskan multikulturalisme terkait kepada kebudayaan dan pluralitas. 

Sabtu, 07 Maret 2015

Jurnalisme "Bagaimana Perasaan Anda?"

Indonesia merupakan negara yang diberkahi dengan kekayaan alam yang luar biasa. Kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan berada di posisi strategis di antara dua benua dan dua samudera memunculkan keberagaman alam yang menakjubkan. Keindahan gunung-gunung dari ujung Sumatera hingga Kepulauan Nusa Tenggara, hamparan pantai yang luas, hingga kesuburan tanah Indonesia merupakan bukti betapa kayanya negeri yang dua per tiga wilayahnya adalah lautan. Namun, di balik keindahan tersebut tersimpan ancaman bahaya akan banyaknya bencana alam yang sewaktu-waktu dapat terjadi.