Selasa, 03 Januari 2017

Ramai-ramai Mengadili Televisi

14 tahun silam di Senayan, tepatnya pada hari Sabtu, 28 Desember 2002, kurang lebih empat tahun setelah reformasi, Presiden Megawati Soekarnoputri bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan undang-undang yang menjadi dasar pedoman penyelenggaraan sistem penyiaraan di Indonesia di mana tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Disahkannya undang-undang tersebut menjadi angin segar bagi sistem penyiaran di Indonesia seiring dengan semangat demokratisasi media setelah era orde baru.

Rabu, 28 Desember 2016 di Yogyakarta, tepat setelah 14 tahun disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut, puluhan mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta berkumpul di sebuah tempat, mengundang masyarakat untuk datang, termasuk di antaranya dua aktivis penyiaran. Peneliti di Pemantau Regulasi dan regulator Media (PR2Media), Puji Rianto dan Kepala Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY, Supadiyanto hadir dalam kesempatan tersebut. Mereka berkumpul dalam rangka mengadakan ‘pengadilan terbuka’ kepada sebuah alat elektronik bernama televisi. Benar, mereka ramai-ramai mengadili televisi. Tidak disadari sebelumnya, menjadi sebuah acara yang memiliki momentum yang sangat pas, sebelum salah seorang yang hadir mengatakan bahwa tepat pada hari itu, 14 tahun yang lalu pemerintah mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2002.

Para mahasiswa yang mengadakan acara tersebut adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang mengambil konsentrasi Broadcasting dalam program studi Ilmu Komunikasi. Dalam kesempatan tersebut, sembari berdiskusi, mereka meluncurkan dua kumpulan tulisan-tulisan keresahan terhadap apa yang ada di televisi Indonesia era sekarang ini yang ditampilkan dalam dua buah judul buku setebal 200-an halaman.

Mengadili Media menjadi tema acara peluncuran dua buku yang telah digagas sejak awal semester ganjil tersebut merupakan output  dari Mata kuliah Hukum dan Etika Media Massa yang diampu oleh dosen yang juga memoderatori diskusi, Fajar Junaedi. Kondisi pertelevisian nasional kini memang sangat memprihatinkan. Cita-cita demokratisasi media nampaknya masih jauh dari kenyataan. Segudang permasalahan mulai dari banyaknya pelanggaran yang dilakukan stasiun televisi hingga terkonsentrasinya kepemilikan stasiu televisi di segelentir orang menjadi rentetan pelanggaran televisi-televisi Indonesia yang ternyata apabila diamati seksama telah melanggar pasal berlapis-lapis, baik dalam pasal UU Nomor 32 Tahun 2002 sampai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Dari delapan puluhan mahasiswa itu, saya menjadi salah satu di antaranya yang juga urun tulisan dalam buku yang terbit. Buku pertama kami beri judul "Mengadili Televisi". Bukan hanya untuk sekedar mencari judul yang keren atau eye catching, "Mengadili Televisi" berangkat dari harapan kami dan saya yakin harapan juga bagi masyarakat Indonesia yang peduli pada kondisi penyiaran tanah air demi terwujudnya sistem penyiaran nasional yang seadil-adilnya dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan partai politik, bukan kepentingan bisnis, sesuai dengan apa yang sudah diamanahkan undang-undang. Buku kedua kami beri judul "Wikimedia", sebuah akronim dari "Wacana Isu Kritisasi  Isi Tayangan Televisi" di mana kami sadar, sangat diperlukan paradigma kritis para penonton televisi di Indonesia agar tak mudah dikendalikan para pemegang modal di industri pertelevisian Indonesia.

Bukan hanya satu dua program televisi, bukan hanya satu dua stasiun televisi, bahkan hampir semua stasiun televisi di Indonesia menjadi bahan obrolan kami di kedua buku tersebut. Banyaknya tayangan kekerasan, menjual seksualitas, pemanfaatan televisi sebagai alat politik, hingga tayangan-tayangan televisi yang 'murahan' menghiasi lacar kaya masyarakat Indonesia setiap harinya, baik di kamar, ruang keluarga hingga lobi-lobi kantor. Lebih dari 90 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi televisi, setidaknya data tersebut sudah mampu menjawab kenapa objeknya harus televisi? Tanpa mengesampingkan efek media yang lainnya, televisi masih menjadi 'mesin pencuci otak' paling efektif di kalangan masyarakat Indonesia.

Menggerakkan Gerakan Literasi Media
Bukan tanpa maksud, penerbitan kedua buku tersebut adalah bagian dari gerakan literasi media yang telah kami gagas beberapa waktu sebelumnya. Beberapa waktu yang lalu, satu angkatan kami di UMY telah disebar ke berbagai daerah di Yogyakarta bahkan sampai Jawa Tengah, turun langsung ke masyarakat, ke ibu-ibu PKK, bapak-bapak takmir masjid, hingga murid-murid di sekolah untuk menyampaikan pesan sederhana bahwa bijaklah dalam mengonsumsi media, saring yang baik, jauhi yang buruk. Bagaimanapun juga, kita adalah pemilik media sebenarnya, para pemodal hanya meminjam frekuensi publik yang mana seharusnya harus dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, bukan seperti yang sekarang terjadi. Kami bersyukur, sebagai mahasiswa kami didukung oleh dosen-dosen dan pihak universitas yang terus mendukung gerakan tersebut yang mana sudah menjadi tradisi setiap angkatan di program studi Ilmu Komunikasi UMY. Kedua buku itu pun demikian, kami sangat berharap, sangat lebih dari sekedar nilai mata kuliah, bahwasanya harus ada gerakan-gerakan literasi media yang lebih massif lagi untuk masyarakat demi terwujudnya kualitas media yang sebenar-benarnya untuk kepentingan masyarakat. "Literasi media harus diarusutamakan," sedikit mengutip testimoni dari Wisnu Prasetya Utomo, peneliti di Remotivi yang juga sudah membaca kedua buku ini. Mari ramai-ramai adili televisi, karena mematikan televisi, bukanlah solusi.

*Untuk mendapatkan buku Mengadili Televisi atau Wikimedia dapat menghubungi 085729090951 (Yusuf) 

Jumat, 26 Februari 2016

Menulis Olahraga, Lebih dari Menang Kalah

Selain memiliki ketertarikan terhadap dunia media dan turisme, saya juga tertarik untuk membicarakan hal-hal terkait dengan dunia olahraga, bukan melakukannya, namun lebih kepada menjadi komentator, layaknya bung Tommy Welly ataupun Rendra Sudjono.

Bagi saya pribadi, olahraga bukan hanya bicara soal aktivitas, lebih dari itu olahraga adalah gaya hidup, hiburan. Dan yang paling penting bagi saya, olahraga adalah suatu aktivitas yang di dalamnya tersimpan beribu kisah yang menarik untuk dibicarakan. Berbicara tentang kisah yang menarik untuk dibicarakan, media memainkan perannya dalam hal ini yang terbungkus dalam praktik jurnalisme. Sepakbola, bola basket, dan bulutangkis adalah tiga cabang olahra ga yang paling saya gemari, sekali lagi bukan sebagai pemain namun sebagai tukang komentar. 

Tahun 2013, saya mengenal dunia bola basket ketika menjadi salah satu peserta di Journalist Competition pada turnamen basket pelajar Development Basketball League (DBL) mewakili sekolah bersama puluhan orang dari berbagai sekolah di Yogyakarta. Tahun 2015, tepatnya bulan Juni, saya berkesempatan menjadi salah satu peserta dalam kelas penulisan Football Fandom Indonesia, organisasi yang concern pada kepenulisan sepakbola. Dua bulan kemudian, pada Agustus 2015, saya kembali berkesempatan menjadi salah satu peserta di Pelatihan Jurnalistik Bulutangkis Mahasiswa (PJBM) yang diadakan oleh Harian Bola dimana kami langsung diturunkan ke lapangan untuk meliput kompetisi bulutangkis secara langsung. Ketiga momen itulah yang mendorong saya untuk menekuni apa itu sport journalism, terlebih pada momen PJBM, liputan saya berhasil masuk “Top Ten” liputan terbaik versi Harian Bola.

Satu poin penting yang saya dapatkan dalam kesempatan-kesempatan tersebut adalah bahwasanya tulisan-tulisan tentang olahraga tidak selalu harus berisi tentang berita kemenangan dan kekalahan, skor akhir, siapa yang mencetak gol, ataupun siapa pemain terbaik. Tulisan-tulisan tentang olahraga juga berbicara tentang 1001 kisah di balik semua itu. Dalam artian, jurnalisme olahraga tidak hanya sekedar berita tentang Persib Bandung yang hanya bermain imbang 1-1 melawan Bali United, namun juga berbicara tentang kenapa Samsul Arif tidak berhasil mencetak gol, tentang Bobotoh yang rela datang jauh-jauh menempuh perjalanan dari Bandung ke Gianyar demi mendukung Persib, dan kisah-kisah unik di balik semua itu.

Sirajudin Hasbi, salah satu mentor saya yang merupakan pentolan di Football Fandom Indonesia mengatakan, dunia kepenulisan olahraga terlebih baginya sepakbola, tidak hanya berbicara pada skor pertandingan, kini tulisan-tulisan feature tentang sepakbola trennya sedang naik, dan itulah yang sedang dilakukan oleh kawan- kawan di Fandom.

Broto Happy, wartawan senior Harian Bola dalam kelas penulisan bulutangkis PJBM juga menyampaikan hal yang sama. Tulisan-tulisan feature tentang bulutangkis justru lebih menarik, kalau hanya mencari informasi tentang pertandingan, toh kita tinggal mencarinya lewat live tweet di media sosial sudah bertebaran, bahkan lebih realtime. Kalau kalian lihat foto pembuka tulisan ini di atas, foto tersebut saya ambil dari tribun atas GOR Amongraga saat kami ditugaskan untuk meliput final Sirkuit Nasional Jogjakarta Series, nampak puluhan peserta lain sedang sibuk memperhatikan pertandingan demi mendapat informasi tentang jalannya pertandingan. Saya memilih mengamati gerak-gerik para peserta ini, melihat mereka berlomba-lomba mendapat berita dan foto terbaik. Hal ini dapat menjadi sebuah tulisan yang menarik, tentang semangatnya para peserta PJBM meliput salah satu olahraga terpopuler di Indonesia ini, di samping harus melulu menulis berita tentang hasil pertandingan.

Di DBL pun demikian. Dewan juri kompetisi jurnalis di awal technical meeting pun menekankan bahwa buatlah berita-berita yang unik di balik pertandingan, jangan hanya menulis tentang skor akhir. Itu sudah sangat biasa.

Jumat, 15 Januari 2016

Indonesia, Terorisme, dan Media Sosial

Saya membuka grup chat line pagi itu, seorang teman mengunggah sebuah link yang setelah saya buka adalah berita tentang terjadinya ledakan bom dan aksi penembakan teroris di Sarinah, Jakarta. Tidak hanya link berita, namun lengkap dengan foto-foto suasana detik-detik awal kejadian itu berlangsung. Seseorang tergeletak di jalan dengan lumuran darah yang diduga korban ledakan dengan jelas terpampang di foto itu. Tak lama berselang, saudara saya yang tinggal di Jakarta mengirim capture foto yang berisikan chat seseorang yang diserbarkan melalui whatsupp. "Jangan ada yang keluar kantor dulu, ada terios hijau sama motor trail bawa AK 47 nembak-nembakin pengguna jalan membabi buta di Palmerah." Begitu isi chat tersebut.

Aksi teror pada 14 Januari lalu tersebut pertama kali saya ketahui bukan dari televisi, melainkan dari media sosial. Benar saja, stasiun-stasiun televisi swasta tengah berlomba-lomba memburu visual eksklusif aksi teror dan baku tembak antara polisi dan teroris. Di linimasa twitter, daftar trending topic Indonesia maupun worldwide sudah diambil alih kata kunci “Jakarta”, “Sarinah”, dan tentunya “#PrayForJakarta”. Gerombolan polisi lengkap dengan kendaraan rantis hingga suara baku tembak menjadi pemandangan yang menghiasi layar televisi dan juga linimasa media sosial. Salah satu stasiun televisi swasta, TvOne bahkan sempat mengabarkan bahwa ledakan tidak hanya terjadi di Sarinah, melainkan juga di Slipi, Cililitan, dan Palmerah. Kabar Hoax yang walaupun telah dikoreksi ini akhirnya tidak luput dari bully para netizen. Bahkan, kata “TvOne” sempat hampir mengalahkan kicauan tentang kronologi kejadian itu sendiri di trending topic. Kabar belakangan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan teguran tertulis kepada tiga lembaga penyiaran (TvOne, iNews, dan Radio Elshinta) yang dianggap menyebarkan informasi tidak benar yang berpotensi menimbulkan kepanikan dan kekhawatiran. Kondisi makin diperkeruh dengan banyaknya kiriman dari netizen yang memposting foto korban hingga terduga teroris dengan kondisi yang tidak layak tanpa sensor seakan menebar rasa takut dan rasa ngeri, bukan hanya bagi masyarakat di sekitar Jakarta, namun seluruh wilayah di Indonesia pada umumnya.

Kondisi belum terkendali sepenuhnya, sebuah forwarded massage kembali saya terima melalui media sosial yang isinya himbauan agar tidak menggunakan tagar/hastag #PrayForJakarta ketika memposting di media sosial. Menurut si pembuat pesan hal tersebut akan memancing perhatian dunia ketika mencari trending topic dan akan berimbas pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Pesan tersebut juga menghimbau netizen untuk melakukan social media campaign yang positif cukup dengan mengganti hastag. Pesan tersebut tersebar viral dan tidak sedikit masyarakat yang mengiyakan pesan tersebut. Namun tidak sedikit pula yang menanggapi sinis pesan tersebut. “Memangnya kalau kita nggak pakai hastag #PrayForJakarta maka masyarakat dunia nggak akan tahu apa yang terjadi di Sarinah?” sahut salah satu akun di twitter. Rupiah memang sempat menembus 14 ribu per dollar Amerika pada awal-awal terjadinya ledakan siang itu, walaupun kembali ke kisaran 13 ribu pada sore harinya. Perdebatan tentang hastag ternyata tak berhenti di situ, sore hingga keesokan harinya perdebatan tentang hastag masih saja menjadi pembicaraan viral di media sosial.

Sore harinya, berhasil dilumpuhkannya teroris membuat kondisi sekitar Sarinah berangsur normal. Jalan yang tadinya ditutup mulai dibuka, aktivitas warga kembali seperti biasanya. Di media sosial, pembicaraan teror Sarinah ternyata masih menjadi menu utama. Bukan tentang kronolologi kejadian maupun jumlah korban, ketika televisi masih sibuk mengorek visual kronologi kejadian hingga sore hari, masyarakat media sosial ternyata memiliki sudut pandang sendiri untuk membicarakan peristiwa ini. Jika pada awal kejadian, masyarakat diramaikan dengan berita hoax yang menyebar teror dimana-mana, kini masyarakat diramaikan dengan pembicaraan tentang pedagang satai dan kacang yang ‘nekat’ untuk tetap berjualan di dekat area tempat kejadian perkara, dimana banyak masyarakat yang tumpah ruah. Fenomena polisi ganteng pun tidak luput dari pembicaraan. Bahkan, sepatu yang digunakan salah satu petugas kepolisian yang terlibat baku tembak juga menjadi pembicaraan setelah dikabarkan sepatu itu ditaksir berharga 8 juta rupiah. Hal-hal yang tidak berkaitan dengan kronologi peristiwa justru itu yang menjadi viral hingga keesokan harinya. 



Terorisme dan Karakter Pengguna Media Sosial di Indonesia
Dari penjelasan kronologis di atas, pada peristiwa Sarinah ini saya menemukan persinggungan antara terorisme, media sosial, dan karakter penggunanya di Indonesia. Dari 88,1 juta pengguna internet di Indonesia, 87 persen di antaranya adalah pengguna media sosial aktif (APJII, 2015). Artinya ada kurang lebih 77 juta orang di Indonesia aktif menggunakan media sosial. Maka tak heran jika suatu peristiwa akan begitu cepat menjadi pembicaraan viral dalam waktu sekejap saja. Begitu realtime-nya media sosial bahkan kadang mengalahkan kecepatan televisi dalam menyebarkan arus informasi. Ada tiga poin penting yang saya garis bawahi di tulisan ini tentang terorisme dan karakter pengguna media sosial di Indonesia.

Pertama, arus informasi melalui media sosial tersebar begitu cepat, tidak jarang masyarakat menelan mentah-mentah apa yang ia dapat dan dengan percaya dirinya meneruskan pesan tersebut kepada pengguna lain tanpa melakukan verifikasi kebenaran berita tersebut terlebih dahulu. Kabar hoax tentang penembakan membabi buta dan ledakan di wilayah selain Sarinah tersebar begitu cepat dikarenakan banyaknya masyarakat yang turut membantu menyebarkan pesan tersebut secara viral. Keakuratan sumber informasi menjadi tolak ukur terpenting untuk membuktikan apakah pesan tersebut benar atau tidak. Stasiun televisi sebesar TvOne saja dapat memberitakan berita hoax, apalagi dengan sumber-sumber lainnya yang tidak jelas?

Kedua, aksi terorisme sejatinya bukan hanya bertujuan untuk menyerang suatu kelompok, namun lebih dari itu, terorisme bertujuan untuk menebar teror ketakutan kepada masyarakat luas melalui pemberitaan media yang cepat. Ketika masyarakat terbawa arus dengan berita-berita hoax semacam ledakan terjadi di beberapa wilayah dan membuat mereka memposting foto-foto korban di media sosial maka tujuan teroris bukan hanya berhasil, namun mereka secara tidak langsung juga dibantu oleh para netizen sebagai ‘agen’ penebar ketakutan. Secara pribadi saya salut dengan pernyataan Presiden Jokowi pada menit-menit awal kejadian ini yang menghimbau masyarakat Indonesia agar tidak takut terhadap terorisme. Hal inilah yang kemudian mendorong gerakan #KamiTidakTakut di berbagai media sosial.

Ketiga, pengguna media sosial di Indonesia lebih suka membicarakan hal-hal yang tidak berkaitan dengan kronologi terjadinya teror, berapa jumlah korban, bagaimana proses identifikasi, namun lebih tertarik untuk membicarakan hal di luar itu dan tidak jarang sering memicu perdebatan viral seperti perdebatan hastag #PrayForJakarta, isu pengalihan isu, hingga dugaan adanya konspirasi. Tidak hanya pada peristiwa Sarinah, pada kasus teror di Paris beberapa waktu lalu, perdebatan viral juga tak terelakan menyangkut penggunaan foto profil dengan filter bendera Perancis. Di sisi lain, pengguna media di Indonesia juga tertarik untuk membicarakan hal-hal ‘menarik’ yang terjadi di sekitaran peristiwa seperti pedagang satai dan kacang yang berjualan di kerumunan masyarakat dekat dengan lokasi teror, polisi ganteng, hingga harga sepatu polisi yang saat itu bertugas.

Terlepas dari semua itu, media sosial dan terorisme memang memiliki kaitan yang erat. Media sosial sering digunakan sebagai medium propaganda dan kaderisasi kelompok teroris. Semua kembali kepada pribadi masing-masing, bijak-bijaklah dengan media sosial. Tidak perlu takut, namun perlulah untuk waspada.

Rabu, 30 Desember 2015

Buku yang Saya Baca di 2015

Bukan, bukan. Saya bukan bookworm alias kutu buku yang mampu melahap puluhan sampai ratusan buku dalam satu tahun. Sebenarnya saya agak malu ketika ingat dulu di awal tahun 2015 saya memasang target 20 buku pada challenge reading di akun Goodreads saya. Dan kini di penghujung tahun 2015, ternyata baru tiga perempatnya  dari target yang telah terbaca. Hehe. Jika di Instagram kini sedang tren 'pamer' sembilan foto terbaik selama setahun ini dengan tagar #2015BestNine maka dari kesemua buku yang telah terbaca di tahun ini, secara khusus di tulisan ini saya ulas sembilan buku tersebut dalam '2015 Best Nine' buku yang saya baca di tahun 2015

Sebenarnya niat awal saya, saya ingin mengulas tiap-tiap buku tiap saya selesai membacanya secara mendalam dalam sebuah tulisan resensi. Tapi kenyataan berkata lain, bukannya sok sibuk, tapi harus saya akui saya masih saja memiliki masalah dengan mood untuk menulis. Kembali ke niat awal untuk mengulas masing-masing buku, berikut ulasan singkat saya tentang buku-buku yang telah saya baca di sepanjang tahun 2015 ini. Well, this is 2015 best nine books I've read!

Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme
Salah satu buku dengan alur kata-kata terbaik yang pernah saya baca. Buku yang mengulas buruknya praktik jurnalisme bencana di Indonesia ini disajikan dengan apik dengan bahasa narasi yang begitu mengalir oleh Ahmad Arif, wartawan di Kompas Gramedia berdasarkan pengalamannya meliput salah satu bencana terbesar di abad 21, tsunami Aceh pada tahun 2004 lalu. Narasumbernya lengkap, dilengkap data akurat, didukung narasi yang mencoba membawa para wartawan lain yang membacanya untuk langsung merasakan bertugas saat bencana melanda. Buku ini sebenarnya bukanlah buku yang baru terbit, buku ini terbit pertama April 2010 lalu. Tragedi jatuhnya pesawat Air Asia rute Surabaya-Singapura akhir tahun 2014 lalu yang memperlihatkan betapa tidak siapnya media Indonesia meliput musibah itu akhirnya menggelitik saya untuk memburu buku ini. Jawaban atas kegelisahan-kegelisahan terhadap buruknya praktik jurnalisme bencana oleh media Indonesia saya temukan di buku ini.
 
Mengawal Demokratisasi Media
Demokrasi memang membawa peluang sekaligus tantangan yang tidak mudah bagi negara seperti Indonesia. Euforia reformasi tahun 1998 dengan dijaminnya kebebasan berekspresi, berbicara dan pers ternyata tidak semulus yang terbayangkan. Media-media Indonesia kini dihadang berbagai permasalahan yang menghambat proses demokratisasi media seperti yang digaung-gaungkan oleh reformasi. Buku karya aktivis media, Amir Effendi Siregar ini berisikan opini-opininya tentang demokratisasi media yang ia tuliskan untuk kolom surat kabar setidaknya dalam kurun waktu tahun 1987 hingga 2014. Bagi pembaca yang teratik dengan dinamika kajian media seperti saya, buku ini salah satu buku recommended untuk dibaca sembari duduk santai dan tentunya minum kopi.

Jurnalisme Penyiaran dan Reportase Televisi 
Satu lagi buku tentang jurnalisme yang saya baca. Kali ini bicara tentang salah satu genre jurnalisme yang naik daun setelah reformasi dimana dunia kepenyiaran Indonesia tumbuh pesat bak hewan laron di musim hujan. Fajar Junaedi, penulis yang juga salah satu dosen saya di Ilmu Komunikasi UMY memaparkan jurnalisme penyiaran dan reportase televisi mulai dari konsep dasar, teknik, hingga implementasinya. Bahasanya tidak ngalor-ngidul, alias to the point. Mudah dipahami bagi pembaca terlebih mahasiswa broadcasting pemula yang tentu akan sangat nyambung ketika membaca buku ini.

A(9)ama Saya Adalah Jurnalisme 
Jujur, membaca judul buku ini langsung mengarahkan langkah kaki saya untuk menuju rak buku tentang jurnalisme di salah satu toko buku di Jogja ini pada waktu itu. Buku aktivis pers, Andreas Harsono ini cukup nendang bukan dari judulnya saja, melainkan juga isi. Membahas panjang apa itu jurnalisme hingga bagaimana jurnalisme diimplementasikan, dan tentu tidak ketinggalan jurus 9 elemen jurnalisme ala Bill Kovach menjadi bahasan pembuka di buku ini. Tentu menarik bagi kalian yang juga suka pada jurnalisme.

#TETOT: Aku, Kamu, dan Media Sosial  
Masih tentang media, namun isinya tidak 'seberat' buku-buku sebelumnya. Secara garis besar, buku ini membahas begitu besarnya peluang media sosial untuk dimanfaatkan demi kepentingan publik. Dalam bukunya ini, Walikota Bandung, Ridwan Kamil berhasil membuktikan hal itu. 'Anak twitter yang kebetulan jadi walikota' ini membuktikan pencapaian-pencapainnya sebagai orang nomor satu di Bandung ini dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat kontrol pemerintah sekaligus alat mendekatkan dirinya dan pemerintah yang ia pimpin dengan masyarakat. Segudang cerita inovasi pemerintah yang 'kekinian' berkaitan dengan media sosial ia ceritakan lengkap di buku ini dengan bahasa yang begitu mudah, ringan, terkesan nyleneh tapi justru dengan itu pesannya tersampaikan.


Notes From Qatar 3
Buku pengembangan diri juga menjadi salah satu genre favorit saya ketika berburu buku. Salah satu buku pengembangan diri terbaik yang saya baca adalah buku yang menceritakan tentang perjalanan seorang pemuda bernama Muhammad Assad ini. Perjalanan akademiknya hingga S2 di Qatar, menjadi CEO, dan juga enterprenur menjadi motivasi dan energi positif orang-orang pembacanya. Buku ini merupakan lanjutan dari dua buku dengan judul yang sama yanag kesemuanya berhasil menjadi national best seller. Luar biasa.

Andy Noya, Kisah Hidupku
Siapa tidak tahu host acara talkshow Kick Andy ini. Setelah bertahun-tahun mengupas kisah orang-orang hebat yang memberikan inspirasi, penulis Robert Adi KSP tertarik mengupas kisah hidup pembawa acara keturunan Belanda ini dalam sebuah buku biografi. Dari kisah leluhurnya yang merupakan warga Belanda hingga cerita masa kecilnya, dari ia menjadi wartawan hingga menjadi pimred Metro, dan dari ia berambut krebo hingga kini botak, diceritakan dengan baik dan runtut dalam buku yang menggunakan sudut pandang 'aku'-an ini. Menjadikan ceritanya menjadi lebih hidup.
 
Melunasi Janji Kemerdekaan
Buku bergenre biografi lainnya yang berhasil menarik perhatian saya untuk melahapnya adalah buku biografi salah satu tokoh penting di dunia pendidikan Indonesia saat ini, Anies Baswedan. Muhammad Husnil, sang penulis memulai kisah hidup beliau dengan kisah sang kakek, Abdurahman yang merupakan salah satu sosok berpengaruh dalam perjalanan bangsa Indonesia. Kisahnya berlanjut hingga Anies dewasa, menjadi rektor termuda di Universitas Paramadina, hingga menjadi pelopor pendidikan melalui gerakan Indonesia Mengajar. Sesuai judul bukunya, melalui dunia pendidikan, ia mencoba melunasi salah satu janji kemerdekaan; mencerdaskan kehidupan bangsa.

Building WOW: Indonesia Tourism and Creative Industry
Selain kajian jurnalisme/media dan biografi, saya juga interest dengan dunia kepariwisataan, terlebih dunia pariwisata Indonesia. Buku ini ditulis oleh Sapta Nirwandar, Wakil menteri Pariwisata era Presiden SBY. Sleeping Giant. Begitu ia menyebut negara dengan potensi pariwisata yang luar biasa ini. Industri pariwisata di dunia kini mulai dilirik sebagai penopang perekonomian negara. Di sisi lain industri kreatif terus berkembang yang menuntut setiap negara untuk bersaing menawarkan masing-masing pesonanya. Strategi-strategi untuk menghadapi hal itulah yan menjadi bahasan di buku setebal 220 halam ini.

Selasa, 06 Oktober 2015

Ketika Orang Beramai-ramai Jadi "Ustaz"

Zaman terus berkembang, teknologi semakin maju. Tidak melihat satu bidang, setiap bidang kehidupan tidak dapat lepas dari kemajuan itu. Teknologi informasi salah satunya. Tidak bisa dipungkiri lagi, masyarakat kini hidup di zaman di mana bagi dia yang tidak menguasai informasi maka dialah pengecut. Sebaliknya, bagi mereka yang mampu menguasai informasi maka dialah pemenang. Inilah realitas yang terjadi, di era informasi masyarakat dituntut untuk terus menerus mengonsumsi segala informasi yang ada, yang kini begitu mudah diakses siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. 

Hadirnya internet memang telah mengubah segala aspek. Di satu sisi mendatangkan manfaat yang besar, di sisi lain juga ditunggangi bahaya bagi mereka yang tidak bijaksana menyambutnya. Pola komunikasi yang dulu didominasi oleh era komunikasi massa, di mana masyarakat mengandalkan media massa seperti koran, majalah, televisi, atau radio untuk memenuhi kebutuhan informasi, kini era media baru dengan adanya internet perlahan namun pasti mengubah semua itu. Bak senjata yang hebat, internet telah mengubah kondisi sosial masyarakat. Jika pada era komunikasi massa masyarakat cenderung memiliki budaya partisipasi yang pasif terhadap konsumsi media, kini di era internet partisipasi aktif masyarakat sangat terlihat ketika mengonsumsi informasi. Satu poin penting yang sangat mendasar atas transisi kedua era tersebut, kini masyarakat bukan hanya konsumen, lebih dari itu, kini mereka mempunyai ruang untuk berbicara, saling berdiskusi, sampai-sampai saling berdebat akan suatu informasi yang dikonsumsi. Internet sebagai media baru memberikan ruang bebas bagi informasi melalui fitur-fiturnya seperti blog, media sosial, chat room, atau laman web. Segala informasi yang tidak terbatas seluruhnya berkumpul menjadi satu dalam wadah yang dinamakan internet, mulai dari politik, budaya, ekonomi, pendidikan, hingga informasi-informasi yang menyangkut agama pun ada di dalamnya. Website Islami sangat mudah kita jumpai di internet, untuk belajar tata cara beribadah tak perlu lagi harus ke pengajian, bahkan kini membaca Alquran cukup dengan aplikasi internet yang terhubung dengan gawai kita. Dahulu informasi-informasi khususnya berkaitan dengan agama seperti wahyu Tuhan disebarkan melalui lisan ke lisan, namun sekarang semua itu sudah tersedia di website-website agama yang menawarkan kemudahan untuk mengonsumsi hal tersebut. 


Semua Orang Bisa Jadi “Ustaz”

 

Tersedianya ruang yang bebas itu tidak sepenuhnya membawa efektivitas dan kemudahan bagi penggunanya, di sisi lain dengan adanya ruang bebas tersebut memunculkan kesempatan dan peluang untuk munculnya ruang perdebatan bagi penggunanya. Setiap pengguna internet bebas memosting apa saja dan berkomentar apa saja berkaitan dengan informasi-informasi agama tanpa memandang latar belakangnya apakah pemuka agama maupun bukan. Dalam agama-agama yang berkembang di dunia, agama Katolik tidak begitu mendapat imbas dari media baru ini, sebab otoritas agama Katolik terpusat di Vatikan yang dipimpin oleh Paus. Dalam kata lain, segala informasi tentang agama ini terpusat pada Paus sebagai pemimpin agama, maka jarang ditemui perdebatan-perdebatan tentang agama Katolik di media baru seperti media sosial. Berbeda dengan agama Islam, sepeninggal Nabi Muhammad SAW dan Khulafur Rasyidin sebagai pemimpin tertinggi agama, kini Islam tidak mempunyai pemersatu yang mempersatukan umat di dunia. Berbagai mazhab-mazhab dan aliran-aliran Islam bermunculan. Inilah yang menyebabkan sering terjadinya perdebatan-perdebatan antar sesama umat Islam di media baru seperti media sosial. Setiap orang merasa pemahamannya tentang agama adalah yang paling benar, sehingga sampai berani saling mengafirkan, saling klaim siapa yang benar dan siapa yang salah. Walaupun dalam agama ini dikenal adanya imam, namun otoritas imam tidak dapat menjadi kekuasaan paling tinggi dalam Islam, selama ini dalam Islam, imam dikenal sebagai orang yang memimpin salat, bukan sebagai pemimpin agama. Walaupun juga dalam Islam dikenal adanya mufti atau orang yang berhak memberi keputusan, namun sering terjadi perbedaan dan perselisihan dalam memutuskan sebuah fatwa (keputusan) tentang hal-hal yang menyangkut tentang keagamaan.

Hal inilah yang membuat Bryan Turner dalam artikelnya Religious Authority and The New Media (2007) menuliskan bahwa pada era masyarakat informasi di mana media baru telah hadir di masyarakat, otoritas pemuka agama seperti ulama, ustadz, atau pendeta yang dulunya berperan dalam menyampaikan informasi-informasi agama telah hilang. Kini setiap orang beramai-beramai muncul sebagai “ustaz” yang merasa paling tahu dan paling benar. Dengan kata lain, internet telah menjadikan setiap orang menjadi pembuat fatwa agama.

Dalam kasus yang paling hangat, Teuku Wisnu dalam acara Berita Islami Masa Kini episode 2 September 2015 lalu misalnya. Ketika ia mengatakan bahwa membaca Al-Fatihah untuk orang yang meninggal adalah sesuatu yang salah, sontak hal ini langsung memicu perdebatan keras di media sosial seperti facebook dan twitter. Banyak dari pengguna media sosial yang tidak terima dengan pernyataan tersebut, walaupun tidak sedikit pula yang mengiyakan. Pada kasus lain, konsep Islam Nusantara yang digaungkan oleh organisasi Nahdhatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu juga sempat mengundang debat kusir antar sesama umat Islam di media sosial. Banyak yang mengapresiasi, banyak pula yang mengatakan konsep tersebut tidak sejalan dengan syariat agama.

Isu-isu menyangkut tentang agama seakan memang “lezat” untuk diperdebatkan. Sebagai isu yang sensitif, perlu adanya kehati-hatian dalam menyampaikan segala informasi yang berkaitan dengan agama, apalagi jika dalam agama tersebut telah terdapat pemahaman-pemahaman yang berbeda-beda antar pengikutnya. Kebijaksanaan mutlak dibutuhkan dalam menyikapi hadirnya media baru sebagai sarana informasi masyarakat di era informasi saat ini. Indonesia dengan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia dan juga memiliki pengguna internet yang juga tidak sedikit harus berhati-hati. Sebab sejatinya segala informasi disampaikan untuk memperkuat integritas nasional, bukan sebaliknya.