Sabtu, 02 Mei 2015

Mengawal Kebebasan Pers di Indonesia

Artikel ini sengaja saya tulis menjelang peringatan World Press Freedom Day yang diperingati setiap tanggal 3 Mei yang coba saya kaitkan dengan mata kuliah Komunikasi Politik tentang kebebasan pers yang disampaikan oleh dosen beberapa minggu lalu.

Adanya pers yang independen merupakan pilar keempat demokrasi. Media harus mewakili sumber independen dari pengetahuan, bukan hanya menginformasikan berbagai hal tentang politik pada khalayak, namun juga melindungi rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan. Untuk menjalankan fungsi tersebut maka diperlukan adanya jaminan kebebasan pers.


Kebebasan pers dimaknai sebagai hak untuk mempublikasikan segala informasi tanpa adanya kontrol dan intervensi dari pihak lain, dan tidak digunakan untuk pencemaran nama baik, kecabulan, hasutan, dan lain-lain. Kebebasan pers sudah menjadi isu dunia internasional seiring banyaknya kasus yang mengekang kebebasan pers di dunia. Pada tahun 2014 sebanyak 66 jurnalis meninggal, 119 jurnalis hilang diculik, dan 178 jurnalis dipenjara, di tahun 2015 hingga bulan April saja sudah 24 jurnalis meninggal, dan 158 jurnalis dipenjara (rsf.org). Peringatan World Press Freedom Day menjadi sarana mengingatkan seluruh pihak akan pentingnya mendorong kebebasan pers di dunia tak terkecuali Indonesia. Lantas bagaimana dengan kebebasan pers di Indonesia sendiri?

Indonesia sebenarnya telah memiliki landasar dasar yang menjamin kebebasan pers yang tertuang pada Undang-undang Dasar 1945 yaitu pasal 28 tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, baik secara lisan maupun tulian. Namun, pada realitasnya pasal tersebut diingkari sendiri oleh pemerintah dengan adanya kekangan terhadap pers yang sangat ketat pada era Orde Lama dan Orde Baru. Berbagai media cetak dilarang terbit, banyaknya pembredelan, dan pencabutan SIUPP (Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers). Media massa yang dianggap tidak sependepat dengan pemerintah diberangus, hanya media massa yang mau menjadi alat legitimasi kekuasaan penguasa yang mendapat tempat. Dengan kata lain pada masa sebelum reformasi pemerintah menjadi ancaman utama kebebasan pers di Indonesia.

Runtuhnya era Soeharto pada tahun 1998 membawa angin segar bagi kebebasan pers di Indonesia. Pada tanggal 23 September 1999, Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers disahkan oleh presiden B.J. Habibie. Undang-undang ini memberi amanat untuk mencabut wewenang pemerintah untuk mencabut izin dan membredel pers Indonesia. Dengan adanya undang-undang ini, pemerintah tidak memiliki wewenang untuk ikut campur dalam kegiatan pers di Indonesia. Namun, hal ini tidak serta merta menjamin penuh penerapan kebebasan pers di Indonesia. Kasus demi kasus yang menodai kebebasan pers di Indonesia terus terjadi, sepanjang tahun 2014 setidaknya terjadi 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis (aji.or.id), konglomerasi media massa juga menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers di Indonesia.

Reporters Sans Frontiers (RSF) atau Reporters Without Borders, organisasi nirlaba berbasis di Perancis yang bergerak pada usaha mendorong kebebasan pers di dunia menempatkan Indonesia pada peringkat 138 dari 180 negara dalam indeks kebebasan pers di dunia (World Press Freedom Index) tahun 2015 (April) dengan indeks nilai 40,75. Peringkat ini menurun dari tahun 2014, yaitu di peringkat 132 dengan penurunan indeks sebesar 2,85. Dalam menghitung indeks kebebasan pers, ada beberapa indikator yang digunakan antara lain tingkat kebebasan yang dinikmati oleh jurnalis, organisasi berita, dan netizen di setiap negara, dan upaya yang dilakukan pemerintah untuk menjamin kebebasan pers. Dalam pelaksanaannya, WPFI juga memiliki beberapa pedoman pelaksasanaan yakni; Pluralism (tingkat representasi opini di media), Media Independence (tingkatan dimana media mampu berfungsi secara independen tanpa pengaruh pemerintah dan pemodal), Environment & Self-Censorship (menganalisa lingkungan dimana jurnalis bekerja), Legislative Framework (Menganalisa pembuatan konstitusi/peraturan pers), Traparency (mengukur transparansi kinerja institusi dan prosedur yang mempengrauhi produksi berita), dan Infrastructure (menganalisa kualitas infrastruktur yang mendukung produksi berita).

Indeks kebebasan pers dunia tahun 2015 per tanggal 25 April 2015
(sumber data: rsf.org)
Sudahkah Pers Indonesia Merdeka?
Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan berkunjung ke kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta di kawasan Umbulharjo untuk melakukan sebuah diskusi kecil membicarakan tentang perkembangan kebebasan pers di Indonesia khususnya di era reformasi ini. Saya bertemu beberapa rekan jurnalis yang kebetulan sedang berada di kantor. Di antara dari mereka ialah Bambang Muryanto, jurnalis The Jakarta Post yang juga pengurus di AJI pusat dan Yaya, seorang jurnalis yang bekerja untuk Media Indonesia. 

Ancaman kebebasan pers di Indonesia kini bukan berasal dari pemerintah, melainkan dari pemodal media. Hal ini terlihat jelas pada pemilihan umum tahun 2014 lalu. Berkaca dari pemilu kemarin, terlihat sekali bagaimana banyak pemilik media yang menggunakan media untuk kepentingan politiknya. Inilah yang kini menjadi ancaman utama bagi kebebasan pers Indonesia. Adanya konglomerasi media massa televisi, online, dan cetak menjadi ancaman yang sistematis dimana diversity of content dan diversity of ownership menjadi mengecil. Jika dulu sebelum era reformasi, ancaman kebebasan pers berasal dari pemerintah kemudian setelah reformasi bergeser dari masyarakat dan kini pemilik modal lah ancaman utama kebebasan pers di Indonesia. Para pemilik modal melakukan intervensi pada redaksional media massa yang menyebabkan media kehilangan daya kritisnya, akses informasi dikontrol oleh pemodal yang memperjuangkan kelompok tertentu. Hal inilah yang mengancam kebebasan pers.

Salah satu contoh pemodal media di Indonesia
yang menjadi ancaman kebebasan pers
Di sinilah peran utama pemerintah dibutuhkan untuk mengatur regulasi tentang kepemilikan media dalam upaya demokratisasi media demi menjamin kualitas kebebasan pers. Tanpa adanya regulasi yang kuat tentang hal itu akan ada dialektika tarik menarik kekuatan modal dan kekuatan civil society. Persoalannya, Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dirasa belum mengatur secara khusus tentang hal kepemilikan media. Perlu adanya regulasi yang lebih kuat untuk mengatur kepemilikan media. Tetapi kemudian pemerintah tidak dapat sendiri, masyarakat juga harus punya kemauan untuk mendorong pemerintah melakukan itu. Kalau didiamkan mungkin pemerintah tidak akan banyak bergerak, karena parpol penguasa itulah yang de facto mempunyai modal membangun medianya.

"Memang penuh ancaman, tapi kalau kita berjalan on the track sesuai kode etik jurnalis, ya nggak usah takut"
- Yaya, Jurnalis Media Indonesia


Walaupun demikian, bukan berarti ancaman kebebasan pers di Indonesia hanya berasal dari pemodal saja. Kini, menjelang dua dekade reformasi, ancaman kebebasan pers juga masih datang dari pemerintah dan kelompok masyarakat. Adanya wacana pemerintah untuk merevitalisasi Dewan Pers untuk punya hak membredel media juga menjadi ancaman. "Suara-suara seperti itu ada, tapi akan kalah dengan kekuatan civil society," kata Bambang Muryanto. Di sisi lain, adanya intimidasi dan tekanan mental dari kelompok masyarakat masih dirasakan jurnalis saat melakukan peliputan pada kasus tertentu. "Misal saat kita meliput di UIN Jogja dalam kasus pembubaran pemutaran film Senyap, banyak Ormas yang pandangan matanya sangat tajam ke wartawan, mereka menduga kita wartawan komunis, ancamannya tidak secara fisik tapi psikologis," ujar Yaya, jurnalis Media Indonesia. Kasus yang masih hangat ialah adanya penyerangan kelompok masyarakat pada acara talkshow di Stasiun TV SBO Surabaya beberapa waktu lalu. Kasus tersebut tentu sangat melukai kebebasan pers di Indonesia dimana sebagai negara demokrasi yang seharusnya menjunjung tinggi nilai kebebasan pers tapi ternyata malah dinodai perilaku premanisme terhadap pers.

Memang, secara garis besar penerapan kebebasan pers di Indonesia saat ini mulai membaik, setidaknya itulah yang kini dirasakan para jurnalis jika dibandingkan dengan era orde baru. Semangat demokratisasi media harus diarahkan pada peningkatan kualitas kebebasan pers. Ancaman utama dari pemodal menjadi persoalan utama kebebasan pers di era reformasi yang sudah tentu menjadi persoalan bersama.Optimisme akan penerapan kebebasan pers yang lebih baik akan selalu ada selama masyarakat, media dan pemerintah memahami salah satu esensi utama demokrasi yakni menjunjung tinggi dan menghargai kebebasan pers.

Akhir sekali melalui tulisan ini, saya mengucapkan selamat hari kebebasan pers sedunia. Semoga dengan adanya peringatan ini, bukan hanya menjadi peringatan seremonial semata tiap tahunnya, melainkan dapat menjadi semangat bagi seluruh pihak untuk mendorong terwujudnya kebebasan pers sebaik-baiknya di dunia pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya. Ingat, informasi adalah oksigen demokrasi.

0 comments:

Posting Komentar

Kamu adalah apa yang kamu tulis