Kamis, 30 Juli 2015

Karena Kita "Pemilik Media" Sebenarnya

Sudah bukan rahasia lagi, televisi adalah media yang menjadi rujukan utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan informasi sehari-hari. Walaupun kecenderungan belakangan ini terus terjadi peningkatan pengguna media online, namun televisi masih menjadi primadona masyarakat untuk mengonsumsi segala informasi maupun hiburan setiap harinya. Sadar akan potensi pasar yang begitu besar di masyarakat Indonesia, stasiun televisi berlomba-lomba merebut hati penontonnya dengan membuat berbagai program acara mulai dari program berita, sinetron, film pendek, kuis, hingga infotaiment. Televisi sebagai salah satu komponen yang tergabung dalam media yang sudah memasuki ranah industri terus berlomba menggali penonton sebanyak-banyaknya dengan tujuan lain tidak bukan untuk menaikkan rating program acara. Program acara televisi yang memiliki rating yang tinggi akan menarik banyak pengiklan yang siap merogoh kocek dalam bagi stasiun televisi. Persaingan ketat mendorong para tim kreatif stasiun televisi untuk menyuguhkan program acara semenarik mungkin, hingga tidak jarang tim kreatif yang "terlalu kreatif" akhirnya memunculkan program-program acara yang melanggar ketentuan dan etika penyiaran yang tidak memperdulikan kepentingan publik lagi, prinsipnya program tersebut dapat menarik profit sebesar-besarnya bagi perusahaan. Banyak program-program tersebut sengaja dibumbui kekerasan, pornografi, hingga guyonan-guyonan murahan yang sebenarnya keseluruhan program acara televisi tersebut menggunakan frekuensi yang sejatinya harus dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan publik

Mengenal frekuensi publik

Kita seringkali mendengar atau membaca slogan-slogan pada gerakan-gerakan literasi media, "Frekuensi Milik Publik!". Namun, sebenarnya apa yang dimaksud dengan frekuensi tersebut? Frekuensi adalah gelombang elektromagnetik di udara yang berfungsi sebagai penghantar sinyal. Penggunaan frekuensi tersebut dimanfaatkan dalam berbagai bidang, seperti penerbangan, hingga termasuk untuk televisi. Tanpa adanya frekuensi, program-program siaran televisi yang diproduksi stasiun televisi di studio tidak akan sampai pada layar televisi kita di rumah kita. Seperti bumi, air, dan udara, frekuensi merupakan salah satu kekayaan bangsa. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 menuliskan bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan nasional yang harus dijaga dan dilindungi negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk rakyat. Secara sederhana, dapat kita analogikan industri televisi hanya meminjam frekuensi yang dimiliki oleh kita untuk menghantarkan sinyal program. Lalu, bagaimana jika frekuensi yang dimanfaatkan untuk kepetingan publik ini dipersalahgunakan? Tentu kepentingan publik terabaikan bukan? Sebenarnya apa pentingnya acara siaran langsung pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina bagi kita? Lalu, apa pentingnya pula bagi publik program siaran "Tujuh Bulanan Ashanti"? Belum lagi, apakah kita tidak marah apabila frekuensi publik ternyata dimanfaatkan oleh golongan elit partai politik untuk mengais-ngais suara pemilih lewat kampanyenya? Tentu mencederai kepentingan publik, bukan?

Pentingnya mengadukan program televisi bermasalah

Saya ingat perkataan salah satu komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat beberapa bulan yang lalu ketika saya berkesempatan berkunjung ke kantor KPI. Saya menanyakan kepada beliau, sebenarnya seberapa penting peran masyarakat dalam mengawasi dan mengontrol penyiaran di Indonesia? Jawabannya adalah sangat penting. Dalam melaksanakan fungsinya untuk mengawasi dan mengontrol penyiaran di Indonesia, selain melakukan pengawasan secara langsung terhadap penyiaran, KPI sangat terbantu dengan aduan program siaran yang bermasalah yang dilaporkan oleh masyarakat. Seperti diketahui, KPI sebagai lembaga negara independen membuka aduan akan program-program televisi yang melanggar untuk nantinya akan ditindaklanjuti. Walaupun, selama ini kepedulian masyarakat untuk mengadukan tayangan bermasalah memang masih rendah. Padahal sebenarnya melaporkan tayangan bermasalah begitu sangat mudah, apalagi dengan hadirnya aplikasi android Rapotivi, dimana masyarakat dapat lebih mudah melaporkan tayangan bermasalah yang nantinya akan diteruskan ke KPI. Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak mau melaporkan tayangan-tayangan televisi Indonesia yang bermasalah, demi terwujudnya penyiaran yang mementingkan kepentingan publik tentunya. Berangkat dari frekuensi milik publik, maka tidak berlebihan apabila saya katakan kita lah "pemilik media" sebenarnya.

Rabu, 08 Juli 2015

Menjual Air Mata, Mengatasnamakan Rasa Iba

Peristiwa kecelakaan pesawat militer milik TNI angkatan udara Hercules C130 di Medan, Sumatera Utara pada Selasa, 30 Juni 2015 lalu langsung menarik perhatian publik. Pesawat yang membawa sebanyak 113 penumpang itu jatuh menimpa beberapa bangunan dan kendaraan di jalan Medan Ginting, Medan. Peristiwa ini sontak membuat masyarakat di sekitar tempat kejadian untuk berbondong-bondong mendekat melihat bangkai pesawat yang sudah terbakar. Tidak terkecuali bagi pelaku media, dengan cepat pawa wartawan segera diterjunkan untuk meliput peristiwa ini. Informasi mengenaik kecelakaan pesawat Hercules C130 begitu cepat tersebar, terlebih melalui media sosial dan televisi. Berdasarkan pantauan saya pada hari itu, sebagian besar stasiun televisi nasional seperti Kompas TV, TVOne, Metro TV, Global TV, dan lainnya langsung memotong acara dan berlomba-lomba menyiarkan Breaking News secara langsung. Kerumunan warga, kobaran api yang besar, hingga luluh-lantahnya tempat kejadian menjadi pemandangan di hampir seluruh layar kaca siang itu.

Pada awalnya segala proses peliputan berfokus pada kronologi kecelakaan pesawat Hercules C130, ada berapa penumpang, dan informasi-informasi lainnya berkaitan dengan itu. Namun, semakin kesini obyek peliputan semakin meluas. Peliputan tidak lagi berfokus pada hal-hal yang bersifat kronologis, melainkan meluas ke hal-hal yang sebenarnya di luar lingkup peristiwa. Berita-berita haru tentang kecelakaan pesawat Hercules C130 pun menjadi berita yang sering muncul. Raut wajah sedih dan derai air mata keluarga korban, kisah-kisah pribadi korban dengan keluarganya, hingga kompilasi video bumper tentang kecelakaan pesawat Hercules C130 sengaja dibuat sedramatis mungkin dan ditampilkan secara berulang-ulang hingga memancing rasa haru bagi siapa saja penonton yang melihat itu melalui televisi.  

Aturan tentang peliputan bencana

Bencana memang sesuatu yang tidak dapat kita elakkan. Kapan pun dan dimana pun bencana dapat saja terjadi sewaktu-waktu, baik bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami atau bencana seperti kecelakaan pesawat atau kapal tenggelam. Televisi sebagai salah satu media berfungsi sebagai pihak yang menginformasikan suatu bencana yang terjadi untuk memenuhi kebutuhan publik untuk segera mengetahui hal itu. Dalam proses peliputan suatu bencana, dikenal konsep jurnalisme bencana (disaster journalism) yang di dalamnya terdapat aturan-aturan yang harus ditaati oleh media baik cetak, online, dan tidak terkecuali media televisi. Dalam dunia penyiaran Indonesia, peliputan bencana diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen negara yang memiliki wewenang mengatur dan mengawasi penyiaran Indonesia. Peliputan bencana tersebut diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran pasal 25 yang memiiki beberapa poin sebagai berikut: (a) melakukan peliputan subjek yang tertimpa musibah dengan wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya; (b) tidak menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/atau keluarga yang berada pada kondisi darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, dan/atau mengintimidasi korban dan/atau keluarganya untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya; (c) menyiarkan gambar korban dan/atau orang yang sedang dalam kondisi mendertia hanya dalam konteks yang dapat mendukung tayangan; (d) tidak menggangu pekerja tanggap darurat yang sedang bekerja menolong korban yang kemungkinan masih hidup; dan (e) tidak menggunakan gambar dan/atau suara korban bencana dan/atau orang yang sedang dalam kondisi menderita dalam filler, bumper, ramp, yang disiarkan berulang-ulang. Apabila kita melihat apa yang ditampilkan oleh televisi pada peliputan peristiwa kecelakaan pesawat Hercules C130 di Medan tentu bertentangan dengan peraturan yang berlaku tentang peliputan bencana. Mengatasnamakan rasa iba, televisi seolah “menjual” air mata dan kesedihan keluarga korban memanfaatkan momentum bencana yang sedang terjadi demi menaikkan nilai jual berita tersebut.

Menilik bagaimana konsep jurnalisme bencana yang sesuai, peran media terlebih televisi sebagai rujukan informasi yang paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat memiliki peran yang vital dan strategis sebagai sumber informasi tentang peristiwa bencana yang terjadi kepada khalayak secara cepat. Informasi tentang peristiwa bencana tidak hanya terbatas pada saat bencana itu terjadi, melainkan juga sebelum dan sesudah peristiwa itu terjadi. Dalam hal ini media memiliki fungsi surveillance, artinya media berfungsi menginformasikan tentang sesuatu yang mengancam masyarakat luas dalam hal ini adalah bencana. Pada saat sebelum bencana terjadi, berfungsi untuk menginformasikan kepada khalayak mengenai hal berkaitan dengan mitigasi bencana, cara menyelamatkan diri, hingga mengenali tanda-tanda akan terjadinya bencana. Pada saat bencana terjadi, peran media menjadi sangat penting untuk menginformasikan situasi dan keadaan saat terjadi bencana secara cepat dan tepat kepada khalayak. Setelah terjadi bencana, peran media berfungsi sebagai pembentuk solidaritas sosial, membangkitkan psikis dan moril korban, dan menginformasikan tentang ancaman yang mungkin dapat terjadi misal ancaman akan munculnya wabah penyakit setelah terjadinya banjir.

Buruknya penerapan peliputan bencana di Indonesia ini bukanlah yang pertama kali, tentu kita masih sangat ingat peristiwa jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 rute Surabaya-Singapura beberapa bulan lalu, bagaimana TVone menjadi bahan olok-olokan setelah menyiarkan gambar jenazah tanpa sensor, bagaimana wartawan Metro TV memaksa keluarga korban untuk diwawancarai padahal sedang dalam kondisi yang sangat terpukul. Melihat apa yang terjadi di pertelevisian Indonesia ini maka dapat kita simpulkan bahwa penerapan jurnalisme bencana di Indonesia masih menjadi hal yang normatif dan belum diterapkan dengan sebaik-baiknya. Seringnya terjadi bencana di Indonesia seperti gempa bumi, banjir, gunung meletus dan lain-lain seharusnya membuat media di Indonesia khususnya televisi dapat belajar untuk lebih siap dan lebih bijak dalam melakukan peliputan bencana. Tidak dipungkiri lagi negara Indonesia yang secara geografis sebagai negara kepulauan yang luas yang merupakan daerah rawan bencana, maka penerapan jurnalisme bencana seharusnya menjadi hal yang penting untuk dikaji dan diimplementasikan dengan baik.