Selasa, 10 Maret 2015

Ketika Media Bicara Multikulturalisme


Selalu ada permasalahan ketika membicarakan multikulturalisme. Sebab tidak setiap orang pro terhadap paham multikulturalisme, namun juga ada orang yang kontra terhadap multikulturalisme. Menurut Bikhu Parekh dalam Yohanes Widodo (2008:88) menjelaskan multikulturalisme terkait kepada kebudayaan dan pluralitas. 

Konsep multikulturalisme menjelaskan cara bagaimana menyikapi pluralitas kebudayaan tersebut. Menurut Yohanes Widodo (2008:94) pluralitas merujuk pada kondisi apa yang terjadi dalam masyarakat  (what it is/ das sein) sedangkan multikulturalisme merujuk pada kondisi yang seharusnya terjadi dalam masyarakat (das sollen). Bhirek dalam Hendra (2013:13) menjelaskan ada tiga kategori kenakeragaman pada masyarakat modern kontemporer yatu (1) keanekaragaman subkultur, (2) keanekaragaman perspektif, dan (3) keanekaragaman komunal. Masyarakat yang memiliki ketiga unsur tersebut dikatakan oleh Parekh sebagai “masyarakat multikultural” seperti halnya masyarakat Indonesia.Jika melihat sejarah awal mula konsep multikulturalisme, konsep ini pertama kali berkembang di Amerika Serikat pada tahun 1960-an. Sebuah kebijakan muncul sebagai suatu proses pergeseran signifikasi dimana identitas dikontruksi dalam konteks modernitas barat. Kebijakan multikultural mendorong gerakan kembali ke akar dan penguatan identitas etnis di Amerika Serikat. Agger melihat multikulturalisme sebagai “versi postmodernisme Amerika yang secara politis paling terlihat” (1998:69). Teori-teori postmodern menekankan bahwa perbedaan di antara orang-orang lebih penting daripada kesamaan. Kaum minoritas pun menjadi mendapat perhatian yang lebih. Hak-hak kaum minoritas diperjuangkan melalui multikulturalisme. Walapun demikian, muncul kritik terhahadp konsep multikulturalisme. Semakin beragamnya kelompok dalam suatu masyarakat maka semakin terlihat sekat-sekat di antara kelompok tersebut. Meskipun suatu kelompok mengakui dan melindungi kelompok minoritas namun kelompok-kelompok tersebut akan tetap sulit untuk menyatu. 

Pada beberapa tahun terakhir terdapat beberapa kajian dan penelitian mengenai konsep multikularisme. Kajian kritis Hendar Putranto membahas kaitan antara jender dengan multikulturalisme (2013). Berikutnya penelitian dari Aprinus Salam tentang Politik Multikultur dalam Novel (2009) mencoba melihat apakah novel-novel Indonesia mendorong atau menghambat pendidikan multikultural khususnya pasca orde baru. Selanjutnya Parsudi Suparlan mengkaji multikulturalisme dengan judul Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural (2002) yang menjelaskan bahwa membangun Indonesia yang multikultural hanya dapat terwujud bila konsep multikulturalisme dipahami oleh bangsa Indonesia sendiri. 

Multikulturalisme telah menjadi “bumbu wajib” bagi kreator-kreator media massa. Baik pada film maupun program televisi. Beberapa film dan program televisi dengan bumbu multikulturalisme telah muncul beberapa tahu terakhir. Tidak jarang multikulturalisme yang ditampilkan justru mengarah pada stereotip pada golongan tertentu. Dalam film Nagabonar Jadi 2 (2007) menampilkan tokoh Bonaga yang berasal dari Batak memiliki teman-teman yang berlatarbelakang etnis yang berbeda. Film ini tidak lepas dari stereotip pada golongan tertentu. Seperti jika orang Barak merantau ke Jakarta maka akan sukses atau bagaimana orang Arab yang materialis.Dalam film 3 Hati 2 Cinta 1 Dunia (2010) menceritakan kisah percintaan dua tokoh yang berbeda agama. Stereotip dalam film ini misalnya orang yang berpeci itu baik yang tidak berpeci itu berkonotasi negatif. Film Tanda Tanya (2011) ingin menyampaikan pluralisme di Indonesia khususnya dalam hal beragama. Film ini menjadi kontroversial karena banyak stereotip muncul seperti orang Islam yang kurang berpendidikan, emosional, dan anarkis. Kemudian orang Tionghoa yang materialis.Cinta Tapi Beda (2012) menceritakan bertemunya dua tokoh yang berbeda etnis dan agama yang saling mengasihi. Menariknya film besutan Hanung Bramantyo ini menampilkan stereotip bahwa etnis Minang yang justru identik dengan Kristen. Hal inilah yang mengundang protes keras dari masyarakat Minang pada waktu itu. Film 12 Menit: Kemenangan untuk Selamanya (2013) menceritakan tokoh Elanie yang keturunan Jepang bertemu dengan kebudayaan Indonesia. Stereotip juga muncul bahwa orang Bontang tidak bisa menjadi pemimpin, justru orang keturunan Jepang dan Jawa lah yang pantas menjadi pemimpin. Selain pada film, bumbu multikulturalisme juga ditampilkan pada program acara di televisi. Program komedi Suami-suami Takut Istri menceritakan kumulan suami yag takut pada istri mereka. Latar belakang setiap keluarga berasal dari etnis yang berbeda, dengan stereotip yang melekat pada masing-masing etnis. Seperti orang Jawa yang “klemar-klemer”, dan orang Batak yang keras. Program acara lain yang mengangkat isu multikulturalisme adalah Keluarga Minus yang menceritakan sebuah keluarga yang berasal dari latarbelakang etnis yang berbeda-beda. Stereotip sangat terlihat seperti bagaimana tokoh Minus yang berasal dari Papua terlihat bodoh, kurang berpenidikan, sedangkan tokoh orang Jawa seolah-olah yang paling pintar. 

Beberapa contoh film dan program acara yang coba ditampilkan menunjukkan bahwa multikulturalisme merupakan isu yang “menarik” bagi industri media. Walaupun pada kenyataannya konsep tersebut justru ditampilkan secara berlebihan dan tidak jarang banyak memuat stereotip pada golongan atau etnis tertentu dan memperjelas sekat-sekat yang jelas antar masyarakat multikultur. Meskipun konsep multikulturalisme memberikan ruang bagi kelompok minoritas untuk berkembang namun kenyataannya kelompok mayoritas tetap memiliki kuasa dan dominan terhadap kelompok-kelompok minoritas tersebut.

0 comments:

Posting Komentar

Kamu adalah apa yang kamu tulis