Minggu, 31 Mei 2015

Hari Anti Tembakau Sedunia: Bagaimana Penyiaran Mengatur Iklan Rokok?

Setiap tanggal 31 Mei diperingati sebagai hari tanpa tembakau sedunia. Bagaimana aturan penyiaran iklan rokok di Indonesia?

Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia telah mengatur hal itu. Tepatnya pada Pasal 27 ayat 2 Pedoman Perilaku Penyiaran yang berbunyi: Program siaran yang bermuatan penggambaran pengkonsumsian rokok dan/atau minuman beralkohol: a. hanya dapat ditayangnkan dalam program yang ditujukan bagi khalayak dewasa; dan b. wajib diampilkan sebagai perilaku dan gaya hidup yang negatif dan/atau melanggar hukum, serta tidak digambarkan sebagai sesuatu yang hebat dan menarik.

Lebih lanjut iklan bermuatan rokok diatur dalam Standar Program Siaran (SPS) dalam Bab XXIII tentang Siaran Iklan pasal 59 ayat 1 dan 2: Program siaan iklan rokok hanya boleh disiarkan pada pukul 21.30-05.00 waktu setempat. Program siaran yang berisi segala bentuk dan strategi promosi yang dibuat oleh produsen rokok wajib dikategorikan sebagai iklan rokok.

Salah satu contoh iklan rokok yang digambarkan sebagai sesuatu yang hebat tidak sesuai
dengan regulasi penyiaran dari KPI

Sudahkah Dipatuhi?
Jawabannya belum sepenuhnya. Produsen rokok bersama lembaga penyiaran dalam hal ini media yang menyiarkan iklan tidak jarang melanggar regulasi yang telah ditentukan oleh KPI tentang siaran iklan rokok, khususnya di televisi. Iklan rokok tidak jarang menyelinap mencuri-curi waktu tayang yang seharusnya haya diperbolehkan pada pukul 21.30-05.00 waktu setempat. Iklan rokok juga seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang hebat dan merupakan gaya hidup yang terlihat "keren" yang sebenarnya tidak dibenarkan dalam regulasi penyiaran.

Minggu, 17 Mei 2015

Aku, Kamu, dan KPI

Informasi adalah ruh demokrasi. Tanpa keterbukaan informasi demokrasi tidak mampu berjalan semestinya. Tidak ada campur tangan, kekangan, pembatasan yang dilakukan oleh penguasa atas arus informasi yang menyebar luas di masyarakat. Amir Effendi Siregar, staf pengajar Ilmu Komunikasi di Universitas Islam Indonesia (UII) dalam bukunya yang berjudul "Mengawal Demokratisasi Media: Menolak Konsentrasi Membangun Keberagaman" menyatakan demokratisasi media ialah bagian penting dari usaha membangun demokrasi. Lebih lanjut ia menerangkan demokratisasi media ialah usaha menjamin, menegakkan kemerdekaan dan kebebasan berekspresi, berbicara dan kemerdekaan pers.

Seiring demokratisasi media, setelah reformasi lembaga-lembaga media bermunculan bak jamur di musim hujan, lembaga penyiaran yang di dalamnya ada radio dan televisi menunjukkan perkembangan pesat pasca reformasi. Pesatnya perkembangan lembaga penyiaran di Indonesia di satu sisi membawa potensi ancaman penyalahgunaan frekuensi publik demi kepentingan pribadi maupun kelompok yang tentu mengancam kepentingan publik. Untuk itulah dibentuklah suatu lembaga independen yang berfungsi mengatur dan mengawasi jalannya penyiaran di Indonesia agar sebesar-besarnya dilaksanakan bagi kepentingan publik yang sehat. Sebagaimana yang tertuang pada Undang-undang Nomor 32 tahun 2002 ayat 3 yang menyebutkan bahwa "Penyiaran diselenggarakan dengan tujuan untuk memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil, dan sejahtera, serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia."

Lebih Dekat Dengan KPI
Di Indonesia, lembaga independen yang memiliki wewenang membuat regulasi dan pengawasan penyelenggaraan penyiaran ialah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran merupakan dasar utama didirikannya lembaga ini pada tahun 2002 lalu.

November tahun 2014 lalu, kami, saya bersama dengan rekan-rekan dari Pers Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta berkesempatan mengunjungi kantor pusat Komisi Penyiaran Indonesia. Kunjungan ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan Kuliah Kunjungan Lapangan (KKL) Media selama empat hari di kantor-kantor media di Jakarta. Sempat sedikit bingung menemukan kantor KPI, sebab kantor KPI pusat menempati satu gedung di Gedung Bapeten RI, tepatnya di lantai empat. Sesampai di sana, kami diarahkan menuju ruang pertemuan yang biasa digunakan sebagai pertemuan komisioner pusat KPI untuk memulai acara diskusi dengan perwakilan KPI yang diwakili dua orang komisioner yang saya lupa namanya. Dijelaskan dengan sangat jelas seluk beluk tentang KPI dari awal berdirinya, visi misinya, fungsi serta tujuan dengan adanya KPI oleh mereka.
Dalam menjalankan fungsinya untuk mengatur dan mengontrol penyiaran di Indonesia, KPI mempunyai regulasi yang digunakan sebagai dasar acuan penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Regulasi tersebut tertuang lengkap pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). Dengan regulasi inilah segala penyelenggaraan penyiaran di Indonesia diatur dan diawasi demi menjaga terpenuhinya kepentingan-kepentingan publik. Jika kita lihat, ada kemiripan antara KPI dengan Lembaga Sensor Film. Serupa tapi tak sama, apabila lembaga sensor mengontrol penyiaran sebelum siaran tersebut disiarkan, maka KPI berwenang mengontrol dan mengawasi penyiaran ketika dan setelah siaran itu disiarkan.

"UUD-nya KPI" jadi oleh-oleh  menarik setelah kunjungan di kantor pusat KPI (dok pribadi)

Pada sesi diskusi, saya tergelitik untuk mengajukan tiga pertanyaan sekaligus setelah mendengar penjelasan. Yang pertama, apakah KPI memiliki kedudukan dan kewenangan yang kuat dalam mengatur penyiaran di Indonesia? Kedua, seberapa jauh peran serta masyarakat membantu KPU dalam upaya mengontrol penyiaran? Dan yang ketiga, apa sebenarnya alasan KPI melarang kartun Spongebob? Pertanyaan ketiga ini memang muncul karena pada saat itu sedang hangat-hangatnya pemberitaan tentang KPI yang akan melarang kartun Spongebob Squarepant dan beberapa kartun lainnya karena dianggap bermuatan konten kekerasan, walaupun pada akhirnya bukan dilarang. Di sisi lain, saya sendiri salah satu penggemar Spongebob Squarepants.

Jangan ganggu, sedang rapat komisioner KPI hehe (dok pribadi)
Mengenai kedudukan KPI, bisa dibilang kedudukan dan kewenanan KPI dalam mengatur dan mengontrol penyiaran Indonesia tidak kuat. Seperti dijelaskan, apabila ada program siaran yang melanggar regulasi maka KPI tidak mempunyai wewenang untuk memberhentikan program tersebut. KPI hanya dapat memberikan rekomendasi pemberhentian program siaran yang nantinya diputuskan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo). Dalam hal ini, KPI hanya berhak memberikan teguran dan peringatan yang ditujukan pada pemilik program siaran tersebut. Apabila program siaran tersebut masih saja melanggar, KPI akan memberikan peringatan kedua, masih melanggar? KPI akan memberikan sanksi berupa pembatasan durasi. Apa? masih saja melanggar? Jawabannya KPI berhak menjatuhkan sanksi pemberhentian sementara program siaran tersebut dalam waktu yang relatif yang tidak lama, bukan memberhentikan secara permanen. Hal itu di luar wewenang KPI.

Ingat program YKS? Program yang berkali-kali mendapat teguran dari KPI ini akhirnya diberhentikan secara sementara oleh KPI beberapa waktu yang lalu, imbas dari pemberhentian sementara tersebut membuat program ini ratingnya turun drastis sehingga menjadi hal yang sulit untuk menaikkan rating itu kembali tinggi. Alhasil, program tersebut tidak tayang kembali.

Lalu sejauh mana peran masyarakat dalam membantu KPI dalam pengawasan penyiaran? KPI sebenarnya telah memberikan fasilitas aduan program siaran pada masyarakat untuk mengadukan program-program siaran yang melanggar peraturan. Program aduan tersebut dapat digunakan melalui sms pengaduan, website, hingga telepon. Walaupun pada realitasnya, fasilitas aduan ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Namun bukan berarti KPI tidak akan bertindak jika tidak ada laporan, melainkan KPI mempunyai staf-staf yang mengawasi siaran selama 24 jam non-stop! Sebuah ruangan tidak terlalu besar di dalamnya terdapat bilik-bilik di mana tiap bilik terdapat satu monitor yang digunakan sebagai televisi disediakan untuk memantau secara langsung program-program televisi Indonesia. Seluruh stasiun televisi swasta maupun nasional dipantau disini oleh para staf KPI. Biasanya mereka bekerja dengan sistem shift pagi, siang, dan malam. Sebuah buku catatan pelanggaran dan alat tulis menjadi pegangan setiap staf untuk mencatat apabila terjadi pelanggaran pada program televisi yang sedang ia pantau. Asik juga ya kerja mereka.

Salah satu sfaf KPI ini sedang mengawasi salah satu program SCTV, seru juga nih sekalian nonton FTV


KPI Tidak Bisa Sendirian
Sebuah survei baru-baru ini yang dipublikasikan oleh Remotivi, lembaga studi media khususnya televisi menyebutkan bahwa tingkat kepedulian masyarakat untuk melaporkan aduan atas penyiaran di Indonesia sangat rendah. Survei yang melibatkan 310 responden yang merupakan mahasiswa non komunikasi dari beberapa kota menyatakan bahwa 86,7 persen atau sebanyak 176 orang tidak menggunakan fasilitas aduan dari KPI meskipun mengetahui adanya fasilitas tersebut. Artinya hanya 13,7 % atau sebanyak 13 orang dari responden yang menggunakan fasilitas aduan tersebut kepada KPI (remotivi.or.id). Faktornya bisa saja karena memang tingkat kepedulian masyarakat rendah, ketidaktahuan, atau justru mengganggap program televisi Indonesia baik-baik saja. Satu pon penting dari artikel ini, program siaran televisi Indonesia sangat beragam. Semangat demokratisasi media demi mewujudkan penyiaran yang sehat dan berkualitas sudah tentu harapan kita bersama, aku, kamu, dan KPI. Mau sampai kapan program-program siaran Indonesia gitu-gitu aja?

Sabtu, 02 Mei 2015

Mengawal Kebebasan Pers di Indonesia

Artikel ini sengaja saya tulis menjelang peringatan World Press Freedom Day yang diperingati setiap tanggal 3 Mei yang coba saya kaitkan dengan mata kuliah Komunikasi Politik tentang kebebasan pers yang disampaikan oleh dosen beberapa minggu lalu.