Jumat, 26 Februari 2016

Menulis Olahraga, Lebih dari Menang Kalah

Selain memiliki ketertarikan terhadap dunia media dan turisme, saya juga tertarik untuk membicarakan hal-hal terkait dengan dunia olahraga, bukan melakukannya, namun lebih kepada menjadi komentator, layaknya bung Tommy Welly ataupun Rendra Sudjono.

Bagi saya pribadi, olahraga bukan hanya bicara soal aktivitas, lebih dari itu olahraga adalah gaya hidup, hiburan. Dan yang paling penting bagi saya, olahraga adalah suatu aktivitas yang di dalamnya tersimpan beribu kisah yang menarik untuk dibicarakan. Berbicara tentang kisah yang menarik untuk dibicarakan, media memainkan perannya dalam hal ini yang terbungkus dalam praktik jurnalisme. Sepakbola, bola basket, dan bulutangkis adalah tiga cabang olahra ga yang paling saya gemari, sekali lagi bukan sebagai pemain namun sebagai tukang komentar. 

Tahun 2013, saya mengenal dunia bola basket ketika menjadi salah satu peserta di Journalist Competition pada turnamen basket pelajar Development Basketball League (DBL) mewakili sekolah bersama puluhan orang dari berbagai sekolah di Yogyakarta. Tahun 2015, tepatnya bulan Juni, saya berkesempatan menjadi salah satu peserta dalam kelas penulisan Football Fandom Indonesia, organisasi yang concern pada kepenulisan sepakbola. Dua bulan kemudian, pada Agustus 2015, saya kembali berkesempatan menjadi salah satu peserta di Pelatihan Jurnalistik Bulutangkis Mahasiswa (PJBM) yang diadakan oleh Harian Bola dimana kami langsung diturunkan ke lapangan untuk meliput kompetisi bulutangkis secara langsung. Ketiga momen itulah yang mendorong saya untuk menekuni apa itu sport journalism, terlebih pada momen PJBM, liputan saya berhasil masuk “Top Ten” liputan terbaik versi Harian Bola.

Satu poin penting yang saya dapatkan dalam kesempatan-kesempatan tersebut adalah bahwasanya tulisan-tulisan tentang olahraga tidak selalu harus berisi tentang berita kemenangan dan kekalahan, skor akhir, siapa yang mencetak gol, ataupun siapa pemain terbaik. Tulisan-tulisan tentang olahraga juga berbicara tentang 1001 kisah di balik semua itu. Dalam artian, jurnalisme olahraga tidak hanya sekedar berita tentang Persib Bandung yang hanya bermain imbang 1-1 melawan Bali United, namun juga berbicara tentang kenapa Samsul Arif tidak berhasil mencetak gol, tentang Bobotoh yang rela datang jauh-jauh menempuh perjalanan dari Bandung ke Gianyar demi mendukung Persib, dan kisah-kisah unik di balik semua itu.

Sirajudin Hasbi, salah satu mentor saya yang merupakan pentolan di Football Fandom Indonesia mengatakan, dunia kepenulisan olahraga terlebih baginya sepakbola, tidak hanya berbicara pada skor pertandingan, kini tulisan-tulisan feature tentang sepakbola trennya sedang naik, dan itulah yang sedang dilakukan oleh kawan- kawan di Fandom.

Broto Happy, wartawan senior Harian Bola dalam kelas penulisan bulutangkis PJBM juga menyampaikan hal yang sama. Tulisan-tulisan feature tentang bulutangkis justru lebih menarik, kalau hanya mencari informasi tentang pertandingan, toh kita tinggal mencarinya lewat live tweet di media sosial sudah bertebaran, bahkan lebih realtime. Kalau kalian lihat foto pembuka tulisan ini di atas, foto tersebut saya ambil dari tribun atas GOR Amongraga saat kami ditugaskan untuk meliput final Sirkuit Nasional Jogjakarta Series, nampak puluhan peserta lain sedang sibuk memperhatikan pertandingan demi mendapat informasi tentang jalannya pertandingan. Saya memilih mengamati gerak-gerik para peserta ini, melihat mereka berlomba-lomba mendapat berita dan foto terbaik. Hal ini dapat menjadi sebuah tulisan yang menarik, tentang semangatnya para peserta PJBM meliput salah satu olahraga terpopuler di Indonesia ini, di samping harus melulu menulis berita tentang hasil pertandingan.

Di DBL pun demikian. Dewan juri kompetisi jurnalis di awal technical meeting pun menekankan bahwa buatlah berita-berita yang unik di balik pertandingan, jangan hanya menulis tentang skor akhir. Itu sudah sangat biasa.

Jumat, 15 Januari 2016

Indonesia, Terorisme, dan Media Sosial

Saya membuka grup chat line pagi itu, seorang teman mengunggah sebuah link yang setelah saya buka adalah berita tentang terjadinya ledakan bom dan aksi penembakan teroris di Sarinah, Jakarta. Tidak hanya link berita, namun lengkap dengan foto-foto suasana detik-detik awal kejadian itu berlangsung. Seseorang tergeletak di jalan dengan lumuran darah yang diduga korban ledakan dengan jelas terpampang di foto itu. Tak lama berselang, saudara saya yang tinggal di Jakarta mengirim capture foto yang berisikan chat seseorang yang diserbarkan melalui whatsupp. "Jangan ada yang keluar kantor dulu, ada terios hijau sama motor trail bawa AK 47 nembak-nembakin pengguna jalan membabi buta di Palmerah." Begitu isi chat tersebut.

Aksi teror pada 14 Januari lalu tersebut pertama kali saya ketahui bukan dari televisi, melainkan dari media sosial. Benar saja, stasiun-stasiun televisi swasta tengah berlomba-lomba memburu visual eksklusif aksi teror dan baku tembak antara polisi dan teroris. Di linimasa twitter, daftar trending topic Indonesia maupun worldwide sudah diambil alih kata kunci “Jakarta”, “Sarinah”, dan tentunya “#PrayForJakarta”. Gerombolan polisi lengkap dengan kendaraan rantis hingga suara baku tembak menjadi pemandangan yang menghiasi layar televisi dan juga linimasa media sosial. Salah satu stasiun televisi swasta, TvOne bahkan sempat mengabarkan bahwa ledakan tidak hanya terjadi di Sarinah, melainkan juga di Slipi, Cililitan, dan Palmerah. Kabar Hoax yang walaupun telah dikoreksi ini akhirnya tidak luput dari bully para netizen. Bahkan, kata “TvOne” sempat hampir mengalahkan kicauan tentang kronologi kejadian itu sendiri di trending topic. Kabar belakangan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan teguran tertulis kepada tiga lembaga penyiaran (TvOne, iNews, dan Radio Elshinta) yang dianggap menyebarkan informasi tidak benar yang berpotensi menimbulkan kepanikan dan kekhawatiran. Kondisi makin diperkeruh dengan banyaknya kiriman dari netizen yang memposting foto korban hingga terduga teroris dengan kondisi yang tidak layak tanpa sensor seakan menebar rasa takut dan rasa ngeri, bukan hanya bagi masyarakat di sekitar Jakarta, namun seluruh wilayah di Indonesia pada umumnya.

Kondisi belum terkendali sepenuhnya, sebuah forwarded massage kembali saya terima melalui media sosial yang isinya himbauan agar tidak menggunakan tagar/hastag #PrayForJakarta ketika memposting di media sosial. Menurut si pembuat pesan hal tersebut akan memancing perhatian dunia ketika mencari trending topic dan akan berimbas pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Pesan tersebut juga menghimbau netizen untuk melakukan social media campaign yang positif cukup dengan mengganti hastag. Pesan tersebut tersebar viral dan tidak sedikit masyarakat yang mengiyakan pesan tersebut. Namun tidak sedikit pula yang menanggapi sinis pesan tersebut. “Memangnya kalau kita nggak pakai hastag #PrayForJakarta maka masyarakat dunia nggak akan tahu apa yang terjadi di Sarinah?” sahut salah satu akun di twitter. Rupiah memang sempat menembus 14 ribu per dollar Amerika pada awal-awal terjadinya ledakan siang itu, walaupun kembali ke kisaran 13 ribu pada sore harinya. Perdebatan tentang hastag ternyata tak berhenti di situ, sore hingga keesokan harinya perdebatan tentang hastag masih saja menjadi pembicaraan viral di media sosial.

Sore harinya, berhasil dilumpuhkannya teroris membuat kondisi sekitar Sarinah berangsur normal. Jalan yang tadinya ditutup mulai dibuka, aktivitas warga kembali seperti biasanya. Di media sosial, pembicaraan teror Sarinah ternyata masih menjadi menu utama. Bukan tentang kronolologi kejadian maupun jumlah korban, ketika televisi masih sibuk mengorek visual kronologi kejadian hingga sore hari, masyarakat media sosial ternyata memiliki sudut pandang sendiri untuk membicarakan peristiwa ini. Jika pada awal kejadian, masyarakat diramaikan dengan berita hoax yang menyebar teror dimana-mana, kini masyarakat diramaikan dengan pembicaraan tentang pedagang satai dan kacang yang ‘nekat’ untuk tetap berjualan di dekat area tempat kejadian perkara, dimana banyak masyarakat yang tumpah ruah. Fenomena polisi ganteng pun tidak luput dari pembicaraan. Bahkan, sepatu yang digunakan salah satu petugas kepolisian yang terlibat baku tembak juga menjadi pembicaraan setelah dikabarkan sepatu itu ditaksir berharga 8 juta rupiah. Hal-hal yang tidak berkaitan dengan kronologi peristiwa justru itu yang menjadi viral hingga keesokan harinya. 



Terorisme dan Karakter Pengguna Media Sosial di Indonesia
Dari penjelasan kronologis di atas, pada peristiwa Sarinah ini saya menemukan persinggungan antara terorisme, media sosial, dan karakter penggunanya di Indonesia. Dari 88,1 juta pengguna internet di Indonesia, 87 persen di antaranya adalah pengguna media sosial aktif (APJII, 2015). Artinya ada kurang lebih 77 juta orang di Indonesia aktif menggunakan media sosial. Maka tak heran jika suatu peristiwa akan begitu cepat menjadi pembicaraan viral dalam waktu sekejap saja. Begitu realtime-nya media sosial bahkan kadang mengalahkan kecepatan televisi dalam menyebarkan arus informasi. Ada tiga poin penting yang saya garis bawahi di tulisan ini tentang terorisme dan karakter pengguna media sosial di Indonesia.

Pertama, arus informasi melalui media sosial tersebar begitu cepat, tidak jarang masyarakat menelan mentah-mentah apa yang ia dapat dan dengan percaya dirinya meneruskan pesan tersebut kepada pengguna lain tanpa melakukan verifikasi kebenaran berita tersebut terlebih dahulu. Kabar hoax tentang penembakan membabi buta dan ledakan di wilayah selain Sarinah tersebar begitu cepat dikarenakan banyaknya masyarakat yang turut membantu menyebarkan pesan tersebut secara viral. Keakuratan sumber informasi menjadi tolak ukur terpenting untuk membuktikan apakah pesan tersebut benar atau tidak. Stasiun televisi sebesar TvOne saja dapat memberitakan berita hoax, apalagi dengan sumber-sumber lainnya yang tidak jelas?

Kedua, aksi terorisme sejatinya bukan hanya bertujuan untuk menyerang suatu kelompok, namun lebih dari itu, terorisme bertujuan untuk menebar teror ketakutan kepada masyarakat luas melalui pemberitaan media yang cepat. Ketika masyarakat terbawa arus dengan berita-berita hoax semacam ledakan terjadi di beberapa wilayah dan membuat mereka memposting foto-foto korban di media sosial maka tujuan teroris bukan hanya berhasil, namun mereka secara tidak langsung juga dibantu oleh para netizen sebagai ‘agen’ penebar ketakutan. Secara pribadi saya salut dengan pernyataan Presiden Jokowi pada menit-menit awal kejadian ini yang menghimbau masyarakat Indonesia agar tidak takut terhadap terorisme. Hal inilah yang kemudian mendorong gerakan #KamiTidakTakut di berbagai media sosial.

Ketiga, pengguna media sosial di Indonesia lebih suka membicarakan hal-hal yang tidak berkaitan dengan kronologi terjadinya teror, berapa jumlah korban, bagaimana proses identifikasi, namun lebih tertarik untuk membicarakan hal di luar itu dan tidak jarang sering memicu perdebatan viral seperti perdebatan hastag #PrayForJakarta, isu pengalihan isu, hingga dugaan adanya konspirasi. Tidak hanya pada peristiwa Sarinah, pada kasus teror di Paris beberapa waktu lalu, perdebatan viral juga tak terelakan menyangkut penggunaan foto profil dengan filter bendera Perancis. Di sisi lain, pengguna media di Indonesia juga tertarik untuk membicarakan hal-hal ‘menarik’ yang terjadi di sekitaran peristiwa seperti pedagang satai dan kacang yang berjualan di kerumunan masyarakat dekat dengan lokasi teror, polisi ganteng, hingga harga sepatu polisi yang saat itu bertugas.

Terlepas dari semua itu, media sosial dan terorisme memang memiliki kaitan yang erat. Media sosial sering digunakan sebagai medium propaganda dan kaderisasi kelompok teroris. Semua kembali kepada pribadi masing-masing, bijak-bijaklah dengan media sosial. Tidak perlu takut, namun perlulah untuk waspada.