Selasa, 21 April 2015

Harta, Tahta, Media: Ketika Media Kehilangan Idealismenya

Berbicara tentang politik memang tidak ada habisnya, selalu banjir interupsi, belum lagi jika sedang membicarakan hingar bingar pemilihan umum tahun 2014. Adu argumen, saling sanggah menyanggah, dan tentunya debat kusir tak terelakkan. Setidaknya itulah suasana yang dapat digambarkan di kelas pada awal mata kuliah komunikasi politik beberapa minggu lalu.


Bicara sebentar tentang apa itu komunikasi politik, banyak definisi yang disampaikan oleh tokoh seperti Dan Nimmo, Brian McNair, Doris Graber dan tokoh lainnya. Secara khusus saya mengutip definisi komunikasi politik menurut Brian McNair dari buku Komunikasi Politik karya Fajar Junaedi, salah satu dosen ilmu komunikasi di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Menurut McNair komunikasi politik mempunyai definisi sebagai berikut. Pertama, komunikasi politik adalah semua bentuk komunikasi yang dilakukan oleh aktor-aktor politik untuk mencapai tujuan khusus. Kedua, komunikasi yang ditujukan pada politikus oleh non politikus seperi pemilih dan kolomnis surat kabar. Ketiga, komunikasi politik adalah komunikasi tentang politisi dan aktivitasnya seperti yang ada di berita-berita, editorial, dan bentuk-bentuk diskusi lain tentang politik (McNair dalam Junaedi, 2013:26).

 Hari itu kami mendapat tugas untuk menyampaikan presentasi tentang review pemilihan presiden 2014 lalu khususnya tentang karakter kedua pasang calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.  Kedua pasangan calon memang memiliki karakter dan kekuatan masing-masing. Mulai dari karakter pribadi, propaganda yang dilakukan untuk menarik massa, hingga kekuatan media di balik masing-masing calon menjadi bahasan yang menjadikan durasi kuliah selama dua jam itu menjadi tidak terasa sudah selesai begitu saja, bahkan sudah lewat waktu untuk selesai. 

Harta, Tahta, Media 
Secara garis besar, pembahasan waktu itu memang menekankan pada kekuatan media yang dimiliki masing-masing calon. Sudah rahasia umum bagi kami anak jurusan ilmu komunikasi, dan sepertinya haram hukumnya pula bagi kami jika tidak mengetahui kekuatan media di balik masing-masing calon presiden pada pemilu tahun 2014 lalu. Kembali ke dalam konteks komunikasi politik, posisi media massa memang menjadi elemen besar dalam proses komunikasi politik. Media massa berperan sebagai transmitter yang menyampaikan pesan-pesan politik kepada khalayak luas. Khalayak mengetahui segala pesan politik melalui apa yang disampaikan oleh media massa. Realitas sekarang yang terjadi justru media digunakan sebagai alat menggalang kekuasaan dengan mencari simpati rakyat sebesar-besarnya oleh para aktor politik. Pemilu presiden tahun 2014 lalu merupakan bukti nyata dimana media massa secara terang-terangan menggadaikan independensinya sebagai media yang berpihak pada kepentingan publik demi kepentingan segelintir kelompok partai politik demi tahta kekuasaan politik. Kepemilikan media yang dikuasasi seseorang yang memiliki kaitan erat dengan salah satu partai politik menjadi faktor utama bagaimana media dimanfaatkan sebagai alat politik.

Mengutip dari buku Komunikasi Politik: Teori, Aplikasi dan Startegi di Indonesia karangan Fajar Junaedi, jika kita mengulas model media massa berdasarkan kepemilikannya, secara garis besar ada tiga model media massa. Pertama, non-for-profit media organization. Media massa model ini digunakan oleh organisasi atau kelompok non profit. Kedua yaitu public owned media organization dimana kepemilikan media dikontrol oleh negara. Di Indonesia, model kepemilikan ini diamanatkan oleh TVRI dan RRI sebagai media publik. Dan yang ketiga ialah privately owned media organizations yakni media yang kepemilikannya dikuasai oleh swasta. Model kepemilikan media oleh swasta inilah yang sekarang dominan dibanding model kepemilikan yang lain.

Karena dikelola oleh swasta yang memiliki ketergantungan yang besar atas pemilik modal yang berafisilasi dengan kelompok politik tertentu, maka model kepemilikan media massa yang dikelola oleh swasta ini sangat rentan disusupi  oleh pemilik modal untuk memanfaatkan media sebagai alat kepentingan politik sekaligus alat pemupuk kapital sebesar-sebesarnya. Di Indonesia, kepemilikan media yang berafiliasi dengan kelompok politik bukanlah hal baru. Hal ini sudah terjadi sejak era pemerintahan Orde Baru. Dikeluarkannya kebijakan deregulasi dan liberalisasi ekonomi pada tahun 1980-an yang bertujuan untuk memerkuat perekonomian nasional mendorong digagasnya industri media (Rianto: 2014). RCTI (Rajawali Citra Televisi Indonesia) merupakan televisi komersial pertama yang didirikan di Indonesia. Tidak berselang lama, disusul berdirinya SCTV (Surya Citra Televisi), TPI (Televisi Pendidikan Indonesia), ANTV (Andalas Televisi), dan Indosiar pada kurun waktu 1989 hingga 1995. Kehadiran industri-industri media tersebut dilatarbelangki kepentingan ekonomi dan juga politik penguasa pada waktu itu, presiden Soeharto. Bagaimana tidak, di samping dimanfaatkan sebagai alat pemupuk ekonomi penguasa kepemilikan media-media tersebut dikuasai oleh orang-orang yang dekat dengan keluarga cendana. Pada awal didirikannya, RCTI dimiliki oleh anak sulung Soeharto, Bambang Trihatmojo, SCTV dimiliki oleh adik tiri Soeharto, Sudwikatmono, Siti Hardiyanti Rukmana yang merupakan anak kandung Soeharto menjadi sosok dibalik kepemilikan TPI, belum lagi ANTV dan Indosiar yang dimiliki rekan bisnis Soharto, Bakrie Groups dan Salim Group (Gazali dalam Riyanto: 2014).

Kepemilikan tiga grup media besar di Indonesia, data diolah dari berbagai sumber
Runtuhnya rezim Orde Baru memberikan harapan baru akan berkembangnya industri media yang independen dan bebas kuasa seiring 'meledaknya' euforia kebebasan pers pada awal reformasi. Industri media di Indonesia tumbuh pesat. Pada tahun-tahun awal reformasi, sejumlah televisi komersial bermunculan seperti Metro TV, Trans TV, Lativi, dan Global TV. Belum lagi televisi-televisi lokal yang tersebar di daerah. Namun, pada  gaung demokrasi nyatanya tidak serta merta memunculkan pers sebagai pilar ke-4 demokrasi -- setelah Eksekutif, legislatif, dan yudikatif-- yang independen dan bebas kepentingan, seperti yang dikoar-koarkan selama ini. Konsolidasi bisnis industri media yang agresif telah mendorong pemilik modal memiliki kekuatan media yang kuat yang dimanfaatkan untuk alat politik. Seperti yang sudah saya tuliskan pada awal tulisan ini, rasanya haram hukumnya bagi kami mahasiswa Ilmu Komunikasi jika tidak tahu siapa-siapa saja sosok dibalik industri media besar di Indonesia saat ini yang berafiliasi dengan politik. Hari Tanoesudibjo, Direktur utama PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC Group) sebagai kelompok paling besar lembaga penyiaran di Indonesia yang baru-baru ini mendirikan Partai Perindo, setelah beberapa kali menjadi 'kutu loncat' di sejumlah partai politik demi sebuah tahta politik --walaupun sejauh ini gagal-- adalah contoh nyata bagaimana industri media Indonesia telah benar-benar kehilangan idealismenya. Bergeser sedikit, kita disuguhkan bagaimana Aburizal Bakrie, ketua umum partai Golkar dengan Grup VIVA (PT Visi Media Asia) yang menguasai TVOne, ANTV, dan portal berita Viva terang-terangan menggunakan kekuatan media yang dimilikinya untuk kepentingan politik seperti pada saat Pemilu 2014 lalu dalam mendukung penuh Prabowo Subianto sebagai koalisi partai Golkar dalam pemilihan presiden 2014. Yang paling baru ialah pada kisruh pemilihan ketua umum partai Golkar beberapa waktu lalu, bagaimana ia memanfaatkan media dalam upaya mendukung dirinya melawan Agung Laksono dalam perebutan Ketua Umum partai Golkar. Berpindah ke seberang, Surya Paloh sosok dibalik Metro TV dan Media Indonesia juga punya 'jagoan sendiri' di kancah perpolitikan Indonesia dengan mendukung penuh Joko Widodo sebagai presiden Republik Indonesia pada pemilu presiden tahun 2014 lalu. Hingga berakhirnya "duel panas" pemilu 2014 tidak menghilangkan sisa-sisa persaingan kedua kubu industri media besar di Indonesia ini. MNC Group bersama VIVA masih setia menjadi media oposisi pengkritik pemerintah Jokowi sedangkan Metro TV masih mendukung pemerintahan saat ini.

Media Pilar Keempat Demokrasi?
Seorang negarawan asal Irlandia, Edmund burke pernah menyatakan bahwa media adalah pilar keempat demokrasi -pendamping tiga pilar normatif ideal yang lain yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif- maka media harus mewakili sumber independen dari pengetahuan, bukan hanya menginformasikan berbagai hal tentang politik pada khalayak, namun juga melindungi rakyat dari penyalahgunaan kekuasaan (Burke dalam McNair dalam Junaedi, 2014:71)

Reformasi memang telah merubah wajah kebebasan pers di Indonesia yang awalnya sangat dikekang oleh penguasa hingga akhirnya diberikan kebebasan atas nama demokrasi. Penghapusan Surat Ijin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dianggap mengekang kebebasan pers dan disahkannya Undang-undang Nomor 40 tahun 199 tentang Kebebasan Pers memberikan peluang besar munculnya media yang tidak hanya berfungsi sebagai media informasi namun juga sebagai anjing pengawas yang siap menggonggong jika ada yang tidak beres pada jalannya pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) tanpa adanya intervensi dari pihak manapun tidak terkecuali kelompok politik tertentu.

Pertanyaannya bisakah fungsi tersebut dijalankan oleh media dengan sebaik-baiknya? Jika melihat realitas yang terjadi saat ini rasa-rasanya hal itu hanya isapan jempol belaka. Rasanya sangat sulit menemukan media yang masih menjaga penuh idealismenya untuk tidak berat sebelah dalam mengawal jalannya demokrasi. Inilah yang menjadi keprihatinan kami para mahasiswa akan kondisi pers nasional yang sekali lagi saya harus katakan sudah benar-benar kehilangan idealismenya.

0 comments:

Posting Komentar

Kamu adalah apa yang kamu tulis