Sabtu, 07 Maret 2015

Jurnalisme "Bagaimana Perasaan Anda?"

Indonesia merupakan negara yang diberkahi dengan kekayaan alam yang luar biasa. Kondisi geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan dan berada di posisi strategis di antara dua benua dan dua samudera memunculkan keberagaman alam yang menakjubkan. Keindahan gunung-gunung dari ujung Sumatera hingga Kepulauan Nusa Tenggara, hamparan pantai yang luas, hingga kesuburan tanah Indonesia merupakan bukti betapa kayanya negeri yang dua per tiga wilayahnya adalah lautan. Namun, di balik keindahan tersebut tersimpan ancaman bahaya akan banyaknya bencana alam yang sewaktu-waktu dapat terjadi. 

Kondisi geografis Indonesia yang terletak di antara dua lempeng dunia yaitu lempeng Asia dan Australia mengakibatkan Indonesia sebagai negara rawan bencana. Bencana alam seperti gunung meletus, tsunami, banjir, gempa bumi sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, terjadi bencana alam besar yang melanda berbagai wilayah Indonesia. Gempa besar disusul gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 20014 di Aceh mengakibatkan lebih dari seratus ribu korban jiwa, pada Maret 2005 gempa terjadi di Nias yang menewaskan kurang lebih 1000 jiwa. Disusul gempa bumi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Di tahun yang sama, tsunami terjadi di wilayah Pangandaran, Jawa Barat. Rentetan bencana alam terus terjadi dalam selang waktu yang relatif singkat. Pada tahun 2010 bencana alam seperti tsunami di Kepulauan Mentawai, letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah terjadi hampir bersamaan.

Peran Media dalam Peliputan Bencana

Atas dasar itulah maka adanya informasi mengenai bencana alam di Indonesia menjadi kebutuhan yang penting. Di sinilah peran media menjadi dibutuhkan sebagai sumber informasi tentang peristiwa bencana yang terjadi kepada khalayak. Informasi tentang peristiwa bencana tidak hanya terbatas pada saat bencana itu terjadi, melainkan juga sebelum dan sesudah peristiwa itu terjadi. Dalam hal ini media memiliki fungsi surveillance, artinya media massa berfungsi menginformasikan tentang sesuatu yang mengancam masyarakat luas dalam hal ini adalah bencana. Pada saat sebelum bencana terjadi, media massa berfungsi untuk menginformasikan kepada khalayak mengenai hal berkaitan dengan mitigasi bencana, cara menyelamatkan diri, hingga mengenali tanda-tanda akan terjadinya bencana. Pada saat bencana terjadi, peran media menjadi sangat penting untuk menginformasikan situasi dan keadaan saat terjadi bencana secara cepat dan tepat kepada khalayak. Setelah terjadi bencana, peran media berfungsi sebagai pembentuk solidaritas sosial, membangkitkan psikis dan moril korban, dan menginformasikan tentang ancaman yang mungkin dapat terjadi misal ancaman akan munculnya wabah penyakit setelah terjadinya banjir.
                                                                                                                                                       uniqpost.com
Dilatarbelakangi Indonesia yang merupakan daerah rawan bencana, maka konsep jurnalisme peliputan bencana menjadi konsep yang penting untuk dikaji dan diterapkan oleh media di Indonesia. Dalam melakukan peliputan bencana, para jurnalis seharusnya juga memperhatikan cara menyajikan peliputan dengan baik agar bisa diterima oleh khalayak. Praktik jurnalisme peliputan berita di Indonesia dinilai masih berorientasi pada dramatisasi berita. Penyajian berita bencana disajikan secara berlebihan dengan tujuan menarik efek emosional khalayak sebagai cara menaikkan nilai jual berita tersebut. Media Indonesia seringkali mengeksploitasi derita korban dengan dalih untuk mendorong solidaritas sosial. Isak tangis, kesedihan, kisah dramatis seringkali ditayangkan berulang-ulang di media khususnya televisi saat peliputan terjadinya bencana. Cara penyajian peliputan bencana dengan mengeksploitasi kesedihan korban justru dapat mendapat tentangan dari khalayak.  Misal, seperti kasus yang sedang hangat dibicarakan kini ialah saat seorang jurnalis televisi swasta memaksa mewawancarai seorang keluarga korban hilangnya pesawat Air Asia rute Surabaya-Singapura. Keluarga korban nampak membuang muka karena tidak sanggup menahan kesedihannya atas peristiwa tersebut, namun jurnalis tersebut tetap berusaha mewawancarai dengan menanyakan hal-hal yang sebenarnya sangat tidak etis ditanyakan seperti menanyakan bagaimana perasaannya. Pemaksaan itu pun memancing reaksi kecaman dari khalayak. Hal tersebut melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), pasal 25 yang mengatur tentang peliputan bencana. Pada pasal tersebut lembaga penyiaran dalam melakukan peliputan bencana wajib megikuti ketentuan sebagai berikut: melakukan peliputan subjek yang tertimpa musibah dengan wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya, tidak menambah penderitaan orang atau keluarga yang sedang berduka dengan cara memaksa keluarganya untuk diwawancarai atau diambil gambarnya, tidak menggunakan gambar atau suara korban bencana untuk disiarkan secara berulang-ulang. Di sinilah kode etik jurnalistik perlu dijunjung tinggi oleh jurnalis-jurnalis Indonesia khususnya dalam peliputan bencana.

Melirik Konsep Jurnalisme Bencana di Jepang

                                                   Siaran eksklusif media Jepang, NHK saat tsnunami Sendai (geo-bumi.blogspot.com)
Berbeda dengan media di Indonesia, praktik jurnalisme peliputan berita di Jepang diorientasikan untuk mendorong masyarakat yang tertimpa bencana untuk bangkit. Jepang dan Indonesia adalah sama-sama negara yang merupakan daerah rawan bencana, seperti gempa bumi dan tsunami. Pada saat terjadi gempa dan tsunami di Sendai Maret 2011 lalu, tidak terlihat tayangan mayat-mayat yang ditampilka. Tayangan mengenai kesedihan dan isak tangis korban juga tidak ditemukan. Jika dibandingkan dengan tsunami Aceh 2004 lalu, korban jiwa akibat tsunami Jepang bisa dibilang sangat kecil, yakni sekitar sepersepuluh korban tsunami di Aceh, padahal jika dilihat kepadatan penduduk di Sendai lebih padat daripada di Aceh. Hal ini didukung dengan adanya aturan mengenai peliputan bencana mulai dari sebelum terjadi bencana, saat bencana, dan setelah bencana. NHK, sebagai lembaga penyiaran publik Jepang memegang peran penting dalam penyampaian informasi sebelum bencana terjadi yang dilakukan untuk mengurangi banyaknya korban, menyiarkan peringatan dini, dan sesegera mungkin mendukung evakuasi. Pada saat terjadi bencana, media mereka memberikan informasi tentang situasi dan kondisi selama 24 jam nonstop setiap hari. Dan setelah terjadinya bencana, media  berperan mendukung upaya rehabilitasi kerusakan fisik maupun psikis korban bencana.

Minimnya kajian praktik jurnalisme peliputan bencana di Indonesia adalah faktor yang menyebabkan belum diterapkannya konsep ini dengan baik. Kajian mengenai praktik jurnalisme peliputan bencana di Indonesia masih dibilang cukup baru setelah peristiwa tsunami di Aceh tahun 2014. Jika dilihat, konsep junalisme ini merupakan konsep yang penting diterapkan oleh media-media di Indonesia. Sebab, secara geologis Indonesia yang rawan bencana, di sisi lain media merupakan sumber informasi masyarakat untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan tentang kebencanaan. Maka tidak ada alasan untuk tidak menerapkan konsep ini. Dengan kata lain sudah seharusnya konsep jurnalisme peliputan berita diterapkan dengan baik dan profesional oleh media-media di Indonesia. Sekali lagi, kesedihan keluarga korban bukanlah barang dagangan. Kepada jurnalis-jurnalis Indonesia, bekerjalah dengan hati! (yh)

1 komentar:

  1. Bandar togel online terbaik dan terpecaya
    minimal deposit hanya 20.000 rb
    info lebih jelas silakan kunjugi kami ...
    Telp : +85581569708
    BBM : D8E23B5C
    Line : togelpelangi
    Link www.togelpelangi.info

    BalasHapus

Kamu adalah apa yang kamu tulis