Selasa, 06 Oktober 2015

Ketika Orang Beramai-ramai Jadi "Ustaz"

Zaman terus berkembang, teknologi semakin maju. Tidak melihat satu bidang, setiap bidang kehidupan tidak dapat lepas dari kemajuan itu. Teknologi informasi salah satunya. Tidak bisa dipungkiri lagi, masyarakat kini hidup di zaman di mana bagi dia yang tidak menguasai informasi maka dialah pengecut. Sebaliknya, bagi mereka yang mampu menguasai informasi maka dialah pemenang. Inilah realitas yang terjadi, di era informasi masyarakat dituntut untuk terus menerus mengonsumsi segala informasi yang ada, yang kini begitu mudah diakses siapa saja, di mana saja, dan kapan saja. 

Hadirnya internet memang telah mengubah segala aspek. Di satu sisi mendatangkan manfaat yang besar, di sisi lain juga ditunggangi bahaya bagi mereka yang tidak bijaksana menyambutnya. Pola komunikasi yang dulu didominasi oleh era komunikasi massa, di mana masyarakat mengandalkan media massa seperti koran, majalah, televisi, atau radio untuk memenuhi kebutuhan informasi, kini era media baru dengan adanya internet perlahan namun pasti mengubah semua itu. Bak senjata yang hebat, internet telah mengubah kondisi sosial masyarakat. Jika pada era komunikasi massa masyarakat cenderung memiliki budaya partisipasi yang pasif terhadap konsumsi media, kini di era internet partisipasi aktif masyarakat sangat terlihat ketika mengonsumsi informasi. Satu poin penting yang sangat mendasar atas transisi kedua era tersebut, kini masyarakat bukan hanya konsumen, lebih dari itu, kini mereka mempunyai ruang untuk berbicara, saling berdiskusi, sampai-sampai saling berdebat akan suatu informasi yang dikonsumsi. Internet sebagai media baru memberikan ruang bebas bagi informasi melalui fitur-fiturnya seperti blog, media sosial, chat room, atau laman web. Segala informasi yang tidak terbatas seluruhnya berkumpul menjadi satu dalam wadah yang dinamakan internet, mulai dari politik, budaya, ekonomi, pendidikan, hingga informasi-informasi yang menyangkut agama pun ada di dalamnya. Website Islami sangat mudah kita jumpai di internet, untuk belajar tata cara beribadah tak perlu lagi harus ke pengajian, bahkan kini membaca Alquran cukup dengan aplikasi internet yang terhubung dengan gawai kita. Dahulu informasi-informasi khususnya berkaitan dengan agama seperti wahyu Tuhan disebarkan melalui lisan ke lisan, namun sekarang semua itu sudah tersedia di website-website agama yang menawarkan kemudahan untuk mengonsumsi hal tersebut. 


Semua Orang Bisa Jadi “Ustaz”

 

Tersedianya ruang yang bebas itu tidak sepenuhnya membawa efektivitas dan kemudahan bagi penggunanya, di sisi lain dengan adanya ruang bebas tersebut memunculkan kesempatan dan peluang untuk munculnya ruang perdebatan bagi penggunanya. Setiap pengguna internet bebas memosting apa saja dan berkomentar apa saja berkaitan dengan informasi-informasi agama tanpa memandang latar belakangnya apakah pemuka agama maupun bukan. Dalam agama-agama yang berkembang di dunia, agama Katolik tidak begitu mendapat imbas dari media baru ini, sebab otoritas agama Katolik terpusat di Vatikan yang dipimpin oleh Paus. Dalam kata lain, segala informasi tentang agama ini terpusat pada Paus sebagai pemimpin agama, maka jarang ditemui perdebatan-perdebatan tentang agama Katolik di media baru seperti media sosial. Berbeda dengan agama Islam, sepeninggal Nabi Muhammad SAW dan Khulafur Rasyidin sebagai pemimpin tertinggi agama, kini Islam tidak mempunyai pemersatu yang mempersatukan umat di dunia. Berbagai mazhab-mazhab dan aliran-aliran Islam bermunculan. Inilah yang menyebabkan sering terjadinya perdebatan-perdebatan antar sesama umat Islam di media baru seperti media sosial. Setiap orang merasa pemahamannya tentang agama adalah yang paling benar, sehingga sampai berani saling mengafirkan, saling klaim siapa yang benar dan siapa yang salah. Walaupun dalam agama ini dikenal adanya imam, namun otoritas imam tidak dapat menjadi kekuasaan paling tinggi dalam Islam, selama ini dalam Islam, imam dikenal sebagai orang yang memimpin salat, bukan sebagai pemimpin agama. Walaupun juga dalam Islam dikenal adanya mufti atau orang yang berhak memberi keputusan, namun sering terjadi perbedaan dan perselisihan dalam memutuskan sebuah fatwa (keputusan) tentang hal-hal yang menyangkut tentang keagamaan.

Hal inilah yang membuat Bryan Turner dalam artikelnya Religious Authority and The New Media (2007) menuliskan bahwa pada era masyarakat informasi di mana media baru telah hadir di masyarakat, otoritas pemuka agama seperti ulama, ustadz, atau pendeta yang dulunya berperan dalam menyampaikan informasi-informasi agama telah hilang. Kini setiap orang beramai-beramai muncul sebagai “ustaz” yang merasa paling tahu dan paling benar. Dengan kata lain, internet telah menjadikan setiap orang menjadi pembuat fatwa agama.

Dalam kasus yang paling hangat, Teuku Wisnu dalam acara Berita Islami Masa Kini episode 2 September 2015 lalu misalnya. Ketika ia mengatakan bahwa membaca Al-Fatihah untuk orang yang meninggal adalah sesuatu yang salah, sontak hal ini langsung memicu perdebatan keras di media sosial seperti facebook dan twitter. Banyak dari pengguna media sosial yang tidak terima dengan pernyataan tersebut, walaupun tidak sedikit pula yang mengiyakan. Pada kasus lain, konsep Islam Nusantara yang digaungkan oleh organisasi Nahdhatul Ulama (NU) beberapa waktu lalu juga sempat mengundang debat kusir antar sesama umat Islam di media sosial. Banyak yang mengapresiasi, banyak pula yang mengatakan konsep tersebut tidak sejalan dengan syariat agama.

Isu-isu menyangkut tentang agama seakan memang “lezat” untuk diperdebatkan. Sebagai isu yang sensitif, perlu adanya kehati-hatian dalam menyampaikan segala informasi yang berkaitan dengan agama, apalagi jika dalam agama tersebut telah terdapat pemahaman-pemahaman yang berbeda-beda antar pengikutnya. Kebijaksanaan mutlak dibutuhkan dalam menyikapi hadirnya media baru sebagai sarana informasi masyarakat di era informasi saat ini. Indonesia dengan negara dengan populasi muslim terbesar di dunia dan juga memiliki pengguna internet yang juga tidak sedikit harus berhati-hati. Sebab sejatinya segala informasi disampaikan untuk memperkuat integritas nasional, bukan sebaliknya.