Selasa, 03 Januari 2017

Ramai-ramai Mengadili Televisi

14 tahun silam di Senayan, tepatnya pada hari Sabtu, 28 Desember 2002, kurang lebih empat tahun setelah reformasi, Presiden Megawati Soekarnoputri bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia mengesahkan undang-undang yang menjadi dasar pedoman penyelenggaraan sistem penyiaraan di Indonesia di mana tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Disahkannya undang-undang tersebut menjadi angin segar bagi sistem penyiaran di Indonesia seiring dengan semangat demokratisasi media setelah era orde baru.

Rabu, 28 Desember 2016 di Yogyakarta, tepat setelah 14 tahun disahkannya UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut, puluhan mahasiswa sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta berkumpul di sebuah tempat, mengundang masyarakat untuk datang, termasuk di antaranya dua aktivis penyiaran. Peneliti di Pemantau Regulasi dan regulator Media (PR2Media), Puji Rianto dan Kepala Pengawasan Isi Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DIY, Supadiyanto hadir dalam kesempatan tersebut. Mereka berkumpul dalam rangka mengadakan ‘pengadilan terbuka’ kepada sebuah alat elektronik bernama televisi. Benar, mereka ramai-ramai mengadili televisi. Tidak disadari sebelumnya, menjadi sebuah acara yang memiliki momentum yang sangat pas, sebelum salah seorang yang hadir mengatakan bahwa tepat pada hari itu, 14 tahun yang lalu pemerintah mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2002.

Para mahasiswa yang mengadakan acara tersebut adalah mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang mengambil konsentrasi Broadcasting dalam program studi Ilmu Komunikasi. Dalam kesempatan tersebut, sembari berdiskusi, mereka meluncurkan dua kumpulan tulisan-tulisan keresahan terhadap apa yang ada di televisi Indonesia era sekarang ini yang ditampilkan dalam dua buah judul buku setebal 200-an halaman.

Mengadili Media menjadi tema acara peluncuran dua buku yang telah digagas sejak awal semester ganjil tersebut merupakan output  dari Mata kuliah Hukum dan Etika Media Massa yang diampu oleh dosen yang juga memoderatori diskusi, Fajar Junaedi. Kondisi pertelevisian nasional kini memang sangat memprihatinkan. Cita-cita demokratisasi media nampaknya masih jauh dari kenyataan. Segudang permasalahan mulai dari banyaknya pelanggaran yang dilakukan stasiun televisi hingga terkonsentrasinya kepemilikan stasiu televisi di segelentir orang menjadi rentetan pelanggaran televisi-televisi Indonesia yang ternyata apabila diamati seksama telah melanggar pasal berlapis-lapis, baik dalam pasal UU Nomor 32 Tahun 2002 sampai Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Dari delapan puluhan mahasiswa itu, saya menjadi salah satu di antaranya yang juga urun tulisan dalam buku yang terbit. Buku pertama kami beri judul "Mengadili Televisi". Bukan hanya untuk sekedar mencari judul yang keren atau eye catching, "Mengadili Televisi" berangkat dari harapan kami dan saya yakin harapan juga bagi masyarakat Indonesia yang peduli pada kondisi penyiaran tanah air demi terwujudnya sistem penyiaran nasional yang seadil-adilnya dimanfaatkan untuk kepentingan bangsa dan negara, bukan kepentingan partai politik, bukan kepentingan bisnis, sesuai dengan apa yang sudah diamanahkan undang-undang. Buku kedua kami beri judul "Wikimedia", sebuah akronim dari "Wacana Isu Kritisasi  Isi Tayangan Televisi" di mana kami sadar, sangat diperlukan paradigma kritis para penonton televisi di Indonesia agar tak mudah dikendalikan para pemegang modal di industri pertelevisian Indonesia.

Bukan hanya satu dua program televisi, bukan hanya satu dua stasiun televisi, bahkan hampir semua stasiun televisi di Indonesia menjadi bahan obrolan kami di kedua buku tersebut. Banyaknya tayangan kekerasan, menjual seksualitas, pemanfaatan televisi sebagai alat politik, hingga tayangan-tayangan televisi yang 'murahan' menghiasi lacar kaya masyarakat Indonesia setiap harinya, baik di kamar, ruang keluarga hingga lobi-lobi kantor. Lebih dari 90 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi televisi, setidaknya data tersebut sudah mampu menjawab kenapa objeknya harus televisi? Tanpa mengesampingkan efek media yang lainnya, televisi masih menjadi 'mesin pencuci otak' paling efektif di kalangan masyarakat Indonesia.

Menggerakkan Gerakan Literasi Media
Bukan tanpa maksud, penerbitan kedua buku tersebut adalah bagian dari gerakan literasi media yang telah kami gagas beberapa waktu sebelumnya. Beberapa waktu yang lalu, satu angkatan kami di UMY telah disebar ke berbagai daerah di Yogyakarta bahkan sampai Jawa Tengah, turun langsung ke masyarakat, ke ibu-ibu PKK, bapak-bapak takmir masjid, hingga murid-murid di sekolah untuk menyampaikan pesan sederhana bahwa bijaklah dalam mengonsumsi media, saring yang baik, jauhi yang buruk. Bagaimanapun juga, kita adalah pemilik media sebenarnya, para pemodal hanya meminjam frekuensi publik yang mana seharusnya harus dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, bukan seperti yang sekarang terjadi. Kami bersyukur, sebagai mahasiswa kami didukung oleh dosen-dosen dan pihak universitas yang terus mendukung gerakan tersebut yang mana sudah menjadi tradisi setiap angkatan di program studi Ilmu Komunikasi UMY. Kedua buku itu pun demikian, kami sangat berharap, sangat lebih dari sekedar nilai mata kuliah, bahwasanya harus ada gerakan-gerakan literasi media yang lebih massif lagi untuk masyarakat demi terwujudnya kualitas media yang sebenar-benarnya untuk kepentingan masyarakat. "Literasi media harus diarusutamakan," sedikit mengutip testimoni dari Wisnu Prasetya Utomo, peneliti di Remotivi yang juga sudah membaca kedua buku ini. Mari ramai-ramai adili televisi, karena mematikan televisi, bukanlah solusi.

*Untuk mendapatkan buku Mengadili Televisi atau Wikimedia dapat menghubungi 085729090951 (Yusuf) 

2 komentar:

  1. Selamat atas peluncuran bukunya, Mas Yusuf. Semoga membawa manfaat. :)

    BalasHapus
  2. TRADING ONLINE
    BROKER AMAN TERPERCAYA
    PENARIKAN PALING TERCEPAT
    - Min Deposit 50K
    - Bonus Deposit 10%** T&C Applied
    - Bonus Referral 1% dari hasil profit tanpa turnover

    Daftarkan diri Anda sekarang juga di www.hashtagoption.com

    BalasHapus

Kamu adalah apa yang kamu tulis