Saya membuka grup chat
line pagi itu, seorang teman mengunggah sebuah link yang setelah saya buka
adalah berita tentang terjadinya ledakan bom dan aksi penembakan teroris di
Sarinah, Jakarta. Tidak hanya link berita, namun lengkap dengan foto-foto
suasana detik-detik awal kejadian itu berlangsung. Seseorang tergeletak di
jalan dengan lumuran darah yang diduga korban ledakan dengan jelas terpampang
di foto itu. Tak lama berselang, saudara saya yang tinggal di Jakarta mengirim
capture foto yang berisikan chat seseorang yang diserbarkan melalui whatsupp.
"Jangan ada yang keluar kantor dulu, ada terios hijau sama motor trail bawa AK
47 nembak-nembakin pengguna jalan membabi buta di Palmerah." Begitu isi chat
tersebut.
Aksi teror pada 14
Januari lalu tersebut pertama kali saya ketahui bukan dari televisi, melainkan
dari media sosial. Benar saja, stasiun-stasiun televisi swasta tengah
berlomba-lomba memburu visual eksklusif aksi teror dan baku tembak antara
polisi dan teroris. Di linimasa twitter, daftar trending topic Indonesia maupun
worldwide sudah diambil alih kata kunci
“Jakarta”, “Sarinah”, dan tentunya “#PrayForJakarta”. Gerombolan polisi lengkap
dengan kendaraan rantis hingga suara baku tembak menjadi pemandangan yang
menghiasi layar televisi dan juga linimasa media sosial. Salah satu stasiun
televisi swasta, TvOne bahkan sempat mengabarkan bahwa ledakan tidak hanya
terjadi di Sarinah, melainkan juga di Slipi, Cililitan, dan Palmerah. Kabar Hoax yang walaupun telah dikoreksi ini
akhirnya tidak luput dari bully para
netizen. Bahkan, kata “TvOne” sempat hampir mengalahkan kicauan tentang
kronologi kejadian itu sendiri di trending topic. Kabar belakangan, Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan teguran tertulis kepada tiga lembaga penyiaran
(TvOne, iNews, dan Radio Elshinta) yang dianggap menyebarkan informasi tidak
benar yang berpotensi menimbulkan kepanikan dan kekhawatiran. Kondisi makin
diperkeruh dengan banyaknya kiriman dari netizen yang memposting foto korban
hingga terduga teroris dengan kondisi yang tidak layak tanpa sensor seakan menebar
rasa takut dan rasa ngeri, bukan hanya bagi masyarakat di sekitar Jakarta,
namun seluruh wilayah di Indonesia pada umumnya.
Kondisi belum
terkendali sepenuhnya, sebuah forwarded
massage kembali saya terima melalui media sosial yang isinya himbauan agar
tidak menggunakan tagar/hastag #PrayForJakarta ketika memposting di media
sosial. Menurut si pembuat pesan hal tersebut akan memancing perhatian dunia
ketika mencari trending topic dan
akan berimbas pada melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika. Pesan
tersebut juga menghimbau netizen
untuk melakukan social media campaign yang positif cukup dengan mengganti hastag. Pesan tersebut tersebar viral dan
tidak sedikit masyarakat yang mengiyakan pesan tersebut. Namun tidak sedikit
pula yang menanggapi sinis pesan tersebut. “Memangnya kalau kita nggak pakai
hastag #PrayForJakarta maka masyarakat dunia nggak akan tahu apa yang terjadi
di Sarinah?” sahut salah satu akun di twitter. Rupiah memang sempat menembus 14
ribu per dollar Amerika pada awal-awal terjadinya ledakan siang itu, walaupun
kembali ke kisaran 13 ribu pada sore harinya. Perdebatan tentang hastag
ternyata tak berhenti di situ, sore hingga keesokan harinya perdebatan tentang
hastag masih saja menjadi pembicaraan viral di media sosial.
Sore harinya, berhasil
dilumpuhkannya teroris membuat kondisi sekitar Sarinah berangsur normal. Jalan
yang tadinya ditutup mulai dibuka, aktivitas warga kembali seperti biasanya. Di
media sosial, pembicaraan teror Sarinah ternyata masih menjadi menu utama.
Bukan tentang kronolologi kejadian maupun jumlah korban, ketika televisi masih
sibuk mengorek visual kronologi kejadian hingga sore hari, masyarakat media
sosial ternyata memiliki sudut pandang sendiri untuk membicarakan peristiwa ini.
Jika pada awal kejadian, masyarakat diramaikan dengan berita hoax yang menyebar teror dimana-mana,
kini masyarakat diramaikan dengan pembicaraan tentang pedagang satai dan kacang
yang ‘nekat’ untuk tetap berjualan di dekat area tempat kejadian perkara,
dimana banyak masyarakat yang tumpah ruah. Fenomena polisi ganteng pun tidak
luput dari pembicaraan. Bahkan, sepatu yang digunakan salah satu petugas
kepolisian yang terlibat baku tembak juga menjadi pembicaraan setelah
dikabarkan sepatu itu ditaksir berharga 8 juta rupiah. Hal-hal yang tidak
berkaitan dengan kronologi peristiwa justru itu yang menjadi viral hingga
keesokan harinya.
Terorisme
dan Karakter Pengguna Media Sosial di Indonesia
Dari penjelasan
kronologis di atas, pada peristiwa Sarinah ini saya menemukan persinggungan
antara terorisme, media sosial, dan karakter penggunanya di Indonesia. Dari
88,1 juta pengguna internet di Indonesia, 87 persen di antaranya adalah
pengguna media sosial aktif (APJII, 2015). Artinya ada kurang lebih 77 juta
orang di Indonesia aktif menggunakan media sosial. Maka tak heran jika suatu
peristiwa akan begitu cepat menjadi pembicaraan viral dalam waktu sekejap saja.
Begitu realtime-nya media sosial
bahkan kadang mengalahkan kecepatan televisi dalam menyebarkan arus informasi.
Ada tiga poin penting yang saya garis bawahi di tulisan ini tentang terorisme dan
karakter pengguna media sosial di Indonesia.
Pertama, arus informasi
melalui media sosial tersebar begitu cepat, tidak jarang masyarakat menelan
mentah-mentah apa yang ia dapat dan dengan percaya dirinya meneruskan pesan
tersebut kepada pengguna lain tanpa melakukan verifikasi kebenaran berita
tersebut terlebih dahulu. Kabar hoax tentang
penembakan membabi buta dan ledakan di wilayah selain Sarinah tersebar begitu
cepat dikarenakan banyaknya masyarakat yang turut membantu menyebarkan pesan
tersebut secara viral. Keakuratan sumber informasi menjadi tolak ukur
terpenting untuk membuktikan apakah pesan tersebut benar atau tidak. Stasiun
televisi sebesar TvOne saja dapat memberitakan berita hoax, apalagi dengan sumber-sumber lainnya yang tidak jelas?
Kedua, aksi terorisme
sejatinya bukan hanya bertujuan untuk menyerang suatu kelompok, namun lebih
dari itu, terorisme bertujuan untuk menebar teror ketakutan kepada masyarakat
luas melalui pemberitaan media yang cepat. Ketika masyarakat terbawa arus dengan
berita-berita hoax semacam ledakan
terjadi di beberapa wilayah dan membuat mereka memposting foto-foto korban di media
sosial maka tujuan teroris bukan hanya berhasil, namun mereka secara tidak
langsung juga dibantu oleh para netizen sebagai
‘agen’ penebar ketakutan. Secara pribadi saya salut dengan pernyataan Presiden
Jokowi pada menit-menit awal kejadian ini yang menghimbau masyarakat Indonesia
agar tidak takut terhadap terorisme. Hal inilah yang kemudian mendorong gerakan
#KamiTidakTakut di berbagai media sosial.
Ketiga, pengguna media
sosial di Indonesia lebih suka membicarakan hal-hal yang tidak berkaitan dengan
kronologi terjadinya teror, berapa jumlah korban, bagaimana proses
identifikasi, namun lebih tertarik untuk membicarakan hal di luar itu dan tidak
jarang sering memicu perdebatan viral seperti perdebatan hastag #PrayForJakarta,
isu pengalihan isu, hingga dugaan adanya konspirasi. Tidak hanya pada peristiwa
Sarinah, pada kasus teror di Paris beberapa waktu lalu, perdebatan viral juga
tak terelakan menyangkut penggunaan foto profil dengan filter bendera Perancis.
Di sisi lain, pengguna media di Indonesia juga tertarik untuk membicarakan
hal-hal ‘menarik’ yang terjadi di sekitaran peristiwa seperti pedagang satai
dan kacang yang berjualan di kerumunan masyarakat dekat dengan lokasi teror,
polisi ganteng, hingga harga sepatu polisi yang saat itu bertugas.
Terlepas dari semua
itu, media sosial dan terorisme memang memiliki kaitan yang erat. Media sosial
sering digunakan sebagai medium propaganda dan kaderisasi kelompok teroris.
Semua kembali kepada pribadi masing-masing, bijak-bijaklah dengan media sosial.
Tidak perlu takut, namun perlulah untuk waspada.
0 comments:
Posting Komentar
Kamu adalah apa yang kamu tulis