Peristiwa kecelakaan pesawat
militer milik TNI angkatan udara Hercules C130 di Medan, Sumatera Utara pada
Selasa, 30 Juni 2015 lalu langsung menarik perhatian publik. Pesawat yang
membawa sebanyak 113 penumpang itu jatuh menimpa beberapa bangunan dan
kendaraan di jalan Medan Ginting, Medan. Peristiwa ini sontak membuat
masyarakat di sekitar tempat kejadian untuk berbondong-bondong mendekat melihat
bangkai pesawat yang sudah terbakar. Tidak terkecuali bagi pelaku media, dengan
cepat pawa wartawan segera diterjunkan untuk meliput peristiwa ini. Informasi
mengenaik kecelakaan pesawat Hercules C130 begitu cepat tersebar, terlebih
melalui media sosial dan televisi. Berdasarkan pantauan saya pada hari itu, sebagian
besar stasiun televisi nasional seperti Kompas TV, TVOne, Metro TV, Global TV,
dan lainnya langsung memotong acara dan berlomba-lomba menyiarkan Breaking News secara langsung. Kerumunan
warga, kobaran api yang besar, hingga luluh-lantahnya tempat kejadian menjadi
pemandangan di hampir seluruh layar kaca siang itu.
Pada awalnya segala proses
peliputan berfokus pada kronologi kecelakaan pesawat Hercules C130, ada berapa
penumpang, dan informasi-informasi lainnya berkaitan dengan itu. Namun, semakin
kesini obyek peliputan semakin meluas. Peliputan tidak lagi berfokus pada
hal-hal yang bersifat kronologis, melainkan meluas ke hal-hal yang sebenarnya
di luar lingkup peristiwa. Berita-berita haru tentang kecelakaan pesawat
Hercules C130 pun menjadi berita yang sering muncul. Raut wajah sedih dan derai
air mata keluarga korban, kisah-kisah pribadi korban dengan keluarganya, hingga
kompilasi video bumper tentang
kecelakaan pesawat Hercules C130 sengaja dibuat sedramatis mungkin dan
ditampilkan secara berulang-ulang hingga memancing rasa haru bagi siapa saja
penonton yang melihat itu melalui televisi.
Aturan
tentang peliputan bencana
Bencana memang sesuatu yang tidak
dapat kita elakkan. Kapan pun dan dimana pun bencana dapat saja terjadi
sewaktu-waktu, baik bencana alam seperti gempa bumi, gunung meletus, tsunami
atau bencana seperti kecelakaan pesawat atau kapal tenggelam. Televisi sebagai
salah satu media berfungsi sebagai pihak yang menginformasikan suatu bencana
yang terjadi untuk memenuhi kebutuhan publik untuk segera mengetahui hal itu.
Dalam proses peliputan suatu bencana, dikenal konsep jurnalisme bencana (disaster journalism) yang di dalamnya
terdapat aturan-aturan yang harus ditaati oleh media baik cetak, online, dan tidak
terkecuali media televisi. Dalam dunia penyiaran Indonesia, peliputan bencana
diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang
dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga independen
negara yang memiliki wewenang mengatur dan mengawasi penyiaran Indonesia. Peliputan
bencana tersebut diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran pasal 25 yang memiiki
beberapa poin sebagai berikut: (a) melakukan peliputan subjek yang tertimpa
musibah dengan wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya;
(b) tidak menambah penderitaan ataupun trauma orang dan/atau keluarga yang
berada pada kondisi darurat, korban kecelakaan atau korban kejahatan, atau
orang yang sedang berduka dengan cara memaksa, menekan, dan/atau mengintimidasi
korban dan/atau keluarganya untuk diwawancarai dan/atau diambil gambarnya; (c)
menyiarkan gambar korban dan/atau orang yang sedang dalam kondisi mendertia
hanya dalam konteks yang dapat mendukung tayangan; (d) tidak menggangu pekerja
tanggap darurat yang sedang bekerja menolong korban yang kemungkinan masih
hidup; dan (e) tidak menggunakan gambar dan/atau suara korban bencana dan/atau
orang yang sedang dalam kondisi menderita dalam filler, bumper, ramp, yang disiarkan berulang-ulang. Apabila kita
melihat apa yang ditampilkan oleh televisi pada peliputan peristiwa kecelakaan
pesawat Hercules C130 di Medan tentu bertentangan dengan peraturan yang berlaku
tentang peliputan bencana. Mengatasnamakan rasa iba, televisi seolah “menjual”
air mata dan kesedihan keluarga korban memanfaatkan momentum bencana yang
sedang terjadi demi menaikkan nilai jual berita tersebut.
Menilik bagaimana konsep
jurnalisme bencana yang sesuai, peran media terlebih televisi sebagai rujukan
informasi yang paling dominan dikonsumsi oleh masyarakat memiliki peran yang
vital dan strategis sebagai sumber informasi tentang peristiwa bencana yang
terjadi kepada khalayak secara cepat. Informasi tentang peristiwa bencana tidak
hanya terbatas pada saat bencana itu terjadi, melainkan juga sebelum dan
sesudah peristiwa itu terjadi. Dalam hal ini media memiliki fungsi surveillance, artinya media berfungsi
menginformasikan tentang sesuatu yang mengancam masyarakat luas dalam hal ini
adalah bencana. Pada saat sebelum bencana terjadi, berfungsi untuk
menginformasikan kepada khalayak mengenai hal berkaitan dengan mitigasi
bencana, cara menyelamatkan diri, hingga mengenali tanda-tanda akan terjadinya
bencana. Pada saat bencana terjadi, peran media menjadi sangat penting untuk
menginformasikan situasi dan keadaan saat terjadi bencana secara cepat dan
tepat kepada khalayak. Setelah terjadi bencana, peran media berfungsi sebagai
pembentuk solidaritas sosial, membangkitkan psikis dan moril korban, dan
menginformasikan tentang ancaman yang mungkin dapat terjadi misal ancaman akan
munculnya wabah penyakit setelah terjadinya banjir.
Buruknya penerapan peliputan
bencana di Indonesia ini bukanlah yang pertama kali, tentu kita masih sangat
ingat peristiwa jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 rute Surabaya-Singapura beberapa
bulan lalu, bagaimana TVone menjadi bahan olok-olokan setelah menyiarkan gambar
jenazah tanpa sensor, bagaimana wartawan Metro TV memaksa keluarga korban untuk
diwawancarai padahal sedang dalam kondisi yang sangat terpukul. Melihat apa
yang terjadi di pertelevisian Indonesia ini maka dapat kita simpulkan bahwa
penerapan jurnalisme bencana di Indonesia masih menjadi hal yang normatif dan
belum diterapkan dengan sebaik-baiknya. Seringnya terjadi bencana di Indonesia
seperti gempa bumi, banjir, gunung meletus dan lain-lain seharusnya membuat
media di Indonesia khususnya televisi dapat belajar untuk lebih siap dan lebih
bijak dalam melakukan peliputan bencana. Tidak dipungkiri lagi negara Indonesia
yang secara geografis sebagai negara kepulauan yang luas yang merupakan daerah
rawan bencana, maka penerapan jurnalisme bencana seharusnya menjadi hal yang
penting untuk dikaji dan diimplementasikan dengan baik.
0 comments:
Posting Komentar
Kamu adalah apa yang kamu tulis