Sudah bukan rahasia lagi, televisi adalah media yang menjadi rujukan
utama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan informasi sehari-hari.
Walaupun kecenderungan belakangan ini terus terjadi peningkatan pengguna
media online, namun televisi masih menjadi primadona masyarakat
untuk mengonsumsi segala informasi maupun hiburan setiap harinya. Sadar
akan potensi pasar yang begitu besar di masyarakat Indonesia, stasiun
televisi berlomba-lomba merebut hati penontonnya dengan membuat berbagai
program acara mulai dari program berita, sinetron, film pendek, kuis,
hingga infotaiment. Televisi sebagai salah satu komponen yang tergabung
dalam media yang sudah memasuki ranah industri terus berlomba menggali
penonton sebanyak-banyaknya dengan tujuan lain tidak bukan untuk
menaikkan rating program acara. Program acara televisi yang memiliki rating yang
tinggi akan menarik banyak pengiklan yang siap merogoh kocek dalam bagi
stasiun televisi. Persaingan ketat mendorong para tim kreatif stasiun
televisi untuk menyuguhkan program acara semenarik mungkin, hingga tidak
jarang tim kreatif yang "terlalu kreatif" akhirnya memunculkan
program-program acara yang melanggar ketentuan dan etika penyiaran yang
tidak memperdulikan kepentingan publik lagi, prinsipnya program tersebut
dapat menarik profit sebesar-besarnya bagi perusahaan. Banyak
program-program tersebut sengaja dibumbui kekerasan, pornografi, hingga
guyonan-guyonan murahan yang sebenarnya keseluruhan program acara
televisi tersebut menggunakan frekuensi yang sejatinya harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan publik
Mengenal frekuensi publik
Kita
seringkali mendengar atau membaca slogan-slogan pada gerakan-gerakan
literasi media, "Frekuensi Milik Publik!". Namun, sebenarnya apa yang
dimaksud dengan frekuensi tersebut? Frekuensi adalah gelombang
elektromagnetik di udara yang berfungsi sebagai penghantar sinyal.
Penggunaan frekuensi tersebut dimanfaatkan dalam berbagai bidang,
seperti penerbangan, hingga termasuk untuk televisi. Tanpa adanya
frekuensi, program-program siaran televisi yang diproduksi stasiun
televisi di studio tidak akan sampai pada layar televisi kita di rumah
kita. Seperti bumi, air, dan udara, frekuensi merupakan salah satu
kekayaan bangsa. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 menuliskan
bahwa frekuensi merupakan sumber daya alam terbatas dan kekayaan
nasional yang harus dijaga dan dilindungi negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya untuk rakyat. Secara sederhana, dapat kita analogikan
industri televisi hanya meminjam frekuensi yang dimiliki oleh kita untuk
menghantarkan sinyal program. Lalu, bagaimana jika frekuensi yang
dimanfaatkan untuk kepetingan publik ini dipersalahgunakan? Tentu
kepentingan publik terabaikan bukan? Sebenarnya apa pentingnya acara
siaran langsung pernikahan Raffi Ahmad dan Nagita Slavina bagi kita?
Lalu, apa pentingnya pula bagi publik program siaran "Tujuh Bulanan
Ashanti"? Belum lagi, apakah kita tidak marah apabila frekuensi publik
ternyata dimanfaatkan oleh golongan elit partai politik untuk
mengais-ngais suara pemilih lewat kampanyenya? Tentu mencederai
kepentingan publik, bukan?
Pentingnya mengadukan program televisi bermasalah
Saya
ingat perkataan salah satu komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
Pusat beberapa bulan yang lalu ketika saya berkesempatan berkunjung ke
kantor KPI. Saya menanyakan kepada beliau, sebenarnya seberapa penting
peran masyarakat dalam mengawasi dan mengontrol penyiaran di Indonesia?
Jawabannya adalah sangat penting. Dalam melaksanakan fungsinya untuk
mengawasi dan mengontrol penyiaran di Indonesia, selain melakukan
pengawasan secara langsung terhadap penyiaran, KPI sangat terbantu
dengan aduan program siaran yang bermasalah yang dilaporkan oleh
masyarakat. Seperti diketahui, KPI sebagai lembaga negara independen
membuka aduan akan program-program televisi yang melanggar untuk
nantinya akan ditindaklanjuti. Walaupun, selama ini kepedulian
masyarakat untuk mengadukan tayangan bermasalah memang masih rendah.
Padahal sebenarnya melaporkan tayangan bermasalah begitu sangat mudah,
apalagi dengan hadirnya aplikasi android Rapotivi, dimana masyarakat
dapat lebih mudah melaporkan tayangan bermasalah yang nantinya akan
diteruskan ke KPI. Maka tidak ada alasan lagi untuk tidak mau melaporkan
tayangan-tayangan televisi Indonesia yang bermasalah, demi terwujudnya
penyiaran yang mementingkan kepentingan publik tentunya. Berangkat dari
frekuensi milik publik, maka tidak berlebihan apabila saya katakan kita
lah "pemilik media" sebenarnya.