Kondisi geografis Indonesia yang
terletak di antara dua lempeng dunia yaitu lempeng Asia dan Australia
mengakibatkan Indonesia sebagai negara rawan bencana. Bencana alam seperti
gunung meletus, tsunami, banjir, gempa bumi sering terjadi di berbagai wilayah
Indonesia. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, terjadi bencana alam besar
yang melanda berbagai wilayah Indonesia. Gempa besar disusul gelombang tsunami
pada tanggal 26 Desember 20014 di Aceh mengakibatkan lebih dari seratus ribu
korban jiwa, pada Maret 2005 gempa terjadi di Nias yang menewaskan kurang lebih
1000 jiwa. Disusul gempa bumi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006. Di tahun yang
sama, tsunami terjadi di wilayah Pangandaran, Jawa Barat. Rentetan bencana alam
terus terjadi dalam selang waktu yang relatif singkat. Pada tahun 2010 bencana
alam seperti tsunami di Kepulauan Mentawai, letusan Gunung Merapi di Jawa
Tengah terjadi hampir bersamaan.
Peran Media dalam Peliputan Bencana
Atas dasar itulah maka adanya
informasi mengenai bencana alam di Indonesia menjadi kebutuhan yang penting. Di
sinilah peran media menjadi dibutuhkan sebagai sumber informasi tentang
peristiwa bencana yang terjadi kepada khalayak. Informasi tentang peristiwa
bencana tidak hanya terbatas pada saat bencana itu terjadi, melainkan juga
sebelum dan sesudah peristiwa itu terjadi. Dalam hal ini media memiliki fungsi surveillance, artinya media massa
berfungsi menginformasikan tentang sesuatu yang mengancam masyarakat luas dalam
hal ini adalah bencana. Pada saat sebelum bencana terjadi, media massa
berfungsi untuk menginformasikan kepada khalayak mengenai hal berkaitan dengan
mitigasi bencana, cara menyelamatkan diri, hingga mengenali tanda-tanda akan
terjadinya bencana. Pada saat bencana terjadi, peran media menjadi sangat
penting untuk menginformasikan situasi dan keadaan saat terjadi bencana secara
cepat dan tepat kepada khalayak. Setelah terjadi bencana, peran media berfungsi
sebagai pembentuk solidaritas sosial, membangkitkan psikis dan moril korban,
dan menginformasikan tentang ancaman yang mungkin dapat terjadi misal ancaman
akan munculnya wabah penyakit setelah terjadinya banjir.
![]() |
uniqpost.com |
Dilatarbelakangi Indonesia yang
merupakan daerah rawan bencana, maka konsep jurnalisme peliputan bencana
menjadi konsep yang penting untuk dikaji dan diterapkan oleh media di
Indonesia. Dalam melakukan peliputan bencana, para jurnalis seharusnya juga
memperhatikan cara menyajikan peliputan dengan baik agar bisa diterima oleh
khalayak. Praktik jurnalisme peliputan berita di Indonesia dinilai masih
berorientasi pada dramatisasi berita. Penyajian berita bencana disajikan secara
berlebihan dengan tujuan menarik efek emosional khalayak sebagai cara menaikkan
nilai jual berita tersebut. Media Indonesia seringkali mengeksploitasi derita
korban dengan dalih untuk mendorong solidaritas sosial. Isak tangis, kesedihan,
kisah dramatis seringkali ditayangkan berulang-ulang di media khususnya
televisi saat peliputan terjadinya bencana. Cara penyajian peliputan bencana
dengan mengeksploitasi kesedihan korban justru dapat mendapat tentangan dari
khalayak. Misal, seperti kasus yang
sedang hangat dibicarakan kini ialah saat seorang jurnalis televisi swasta
memaksa mewawancarai seorang keluarga korban hilangnya pesawat Air Asia rute
Surabaya-Singapura. Keluarga korban nampak membuang muka karena tidak sanggup
menahan kesedihannya atas peristiwa tersebut, namun jurnalis tersebut tetap
berusaha mewawancarai dengan menanyakan hal-hal yang sebenarnya sangat tidak
etis ditanyakan seperti menanyakan bagaimana perasaannya. Pemaksaan itu pun
memancing reaksi kecaman dari khalayak. Hal tersebut melanggar Pedoman Perilaku
Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) yang dikeluarkan oleh Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), pasal 25 yang mengatur tentang peliputan bencana.
Pada pasal tersebut lembaga penyiaran dalam melakukan peliputan bencana wajib
megikuti ketentuan sebagai berikut: melakukan peliputan subjek yang tertimpa
musibah dengan wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban dan keluarganya,
tidak menambah penderitaan orang atau keluarga yang sedang berduka dengan cara
memaksa keluarganya untuk diwawancarai atau diambil gambarnya, tidak
menggunakan gambar atau suara korban bencana untuk disiarkan secara
berulang-ulang. Di sinilah kode etik jurnalistik perlu dijunjung tinggi oleh
jurnalis-jurnalis Indonesia khususnya dalam peliputan bencana.
Melirik Konsep Jurnalisme Bencana di Jepang
![]() |
Siaran eksklusif media Jepang, NHK saat tsnunami Sendai (geo-bumi.blogspot.com) |
Berbeda dengan media di
Indonesia, praktik jurnalisme peliputan berita di Jepang diorientasikan untuk
mendorong masyarakat yang tertimpa bencana untuk bangkit. Jepang dan Indonesia
adalah sama-sama negara yang merupakan daerah rawan bencana, seperti gempa bumi
dan tsunami. Pada saat terjadi gempa dan tsunami di Sendai Maret 2011 lalu,
tidak terlihat tayangan mayat-mayat yang ditampilka. Tayangan mengenai kesedihan
dan isak tangis korban juga tidak ditemukan. Jika dibandingkan dengan tsunami
Aceh 2004 lalu, korban jiwa akibat tsunami Jepang bisa dibilang sangat kecil,
yakni sekitar sepersepuluh korban tsunami di Aceh, padahal jika dilihat
kepadatan penduduk di Sendai lebih padat daripada di Aceh. Hal ini didukung
dengan adanya aturan mengenai peliputan bencana mulai dari sebelum terjadi
bencana, saat bencana, dan setelah bencana. NHK, sebagai lembaga penyiaran
publik Jepang memegang peran penting dalam penyampaian informasi sebelum
bencana terjadi yang dilakukan untuk mengurangi banyaknya korban, menyiarkan
peringatan dini, dan sesegera mungkin mendukung evakuasi. Pada saat terjadi
bencana, media mereka memberikan informasi tentang situasi dan kondisi selama
24 jam nonstop setiap hari. Dan setelah terjadinya bencana, media berperan mendukung upaya rehabilitasi
kerusakan fisik maupun psikis korban bencana.
Minimnya kajian praktik jurnalisme peliputan bencana di Indonesia adalah faktor yang menyebabkan belum diterapkannya konsep ini dengan baik. Kajian mengenai praktik jurnalisme peliputan bencana di Indonesia masih dibilang cukup baru setelah peristiwa tsunami di Aceh tahun 2014. Jika dilihat, konsep junalisme ini merupakan konsep yang penting diterapkan oleh media-media di Indonesia. Sebab, secara geologis Indonesia yang rawan bencana, di sisi lain media merupakan sumber informasi masyarakat untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan tentang kebencanaan. Maka tidak ada alasan untuk tidak menerapkan konsep ini. Dengan kata lain sudah seharusnya konsep jurnalisme peliputan berita diterapkan dengan baik dan profesional oleh media-media di Indonesia. Sekali lagi, kesedihan keluarga korban bukanlah barang dagangan. Kepada jurnalis-jurnalis Indonesia, bekerjalah dengan hati! (yh)
Bandar togel online terbaik dan terpecaya
BalasHapusminimal deposit hanya 20.000 rb
info lebih jelas silakan kunjugi kami ...
Telp : +85581569708
BBM : D8E23B5C
Line : togelpelangi
Link www.togelpelangi.info